XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Rabu, 30 Maret 2011

STAG NIGHT : Terjebak Kanibalisme Terowongan Kereta

Tagline:
Stay on the train...


Storyline:
Empat pria masing-masing Mike, Tony, Carl, Joe terpaksa keluar dari kereta bawah tanah malam hari di New York karena berurusan dengan dua wanita yaitu Brita dan Michele. Keenamnya kemudian menelusuri terowongan yang tiada berujung untuk mencari jalan keluar, hingga pada akhirnya menyadari ada sekelompok kanibal yang mengincar mereka untuk dibantai atau dimakan hidup-hidup. Perjuangan mempertahankan nyawa dengan keutuhan anggota tubuh pun dimulai..

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Film Tiger, Instinctive Film dan Rifkin-Eberts.

Cast:
Mulai dikenal setelah mendampingi Stallone dalam Driven (2001), Kip Pardue berperan sebagai Mike
Sempat mendukung 3:10 To Yuma (2007), Vinessa Shaw bermain sebagai Brita
Breckin Meyer sebagai Tony
Scott Adkins sebagai Carl
Karl Geary sebagai Joe

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Peter A. Dowling yang paling dikenal lewat penulisan skrip Flightplan (2005) sebelumnya.

Comment:
Thriller survival sekelompok orang dari serangan makhluk-makhluk buas tidak wajar memang tidak asing lagi. Namun yang bersetting di terowongan kereta rasanya sesuatu yang baru bagi saya. Maaf jika Creep (2004) dan Midnight Meat Train (2008) yang menawarkan konsep sejenis dan sudah rilis terlebih dahulu justru belum sempat disaksikan sehingga saya cukup senang mendapati adanya lokasi teror yang baru di luar pegunungan ataupun kota mati.
Penulis skrip Peter A. Dowling berusaha membangun ketakutan dengan memanfaatkan terowongan kereta yang seakan panjang tak berujung dengan rongga dan pintu yang tidak tentu mengarah kemana. Tentunya sulit bagi manusia normal untuk mengenali medan apalagi mencari jalan keluar. Suasana malam hari tanpa jam operasional juga semakin mencekam ditambah keletihan fisik yang memuncak setelah seharian beraktifitas. Jika anda mampu membayangkan ada di posisi mereka bisa jadi sebuah mimpi buruk yang tidak ingin hadir sekalipun.
Terlepas dari keklisean para tokoh disini (anda dengan mudah dapat mengenali the bad ass and the good ones sejak menit awal), Pardue dan Shaw masih dapat menyuguhkan performa yang cukup menarik untuk mengundang simpati sebagai Mike dan Brita yang dipertemukan oleh takdir. Oh ternyata masih ada nama Meyer yang meskipun menyebalkan tetapi tetap perlu dikasihani nasibnya sebagai Tony. Untuk jajaran antagonis rasanya tidak perlu bintang terkenal, cukup make-up seram dan perilaku insane yang dituntut begitu.
Sayangnya sutradara Dowling masih terlihat shaky menghadirkan adegan demi adegan di tengah kegelapan terlebih saat pengejaran dan pembantaian. Hal ini menjadi nilai minus dalam membuat jantung penonton berdebar-debar menahan nafas. Berbagai adegan gory yang ditampilkan untungnya masih cukup menyita perhatian meski tidak terlalu eksplisit terutama mendekati endingnya terjadi terhadap tokoh yang tidak disangka-sangka itu.
Stag Night memiliki kelebihan dalam performa akting para aktor-aktrisnya tapi kekurangan dalam eksekusi film. Padahal A. Dowling jelas memiliki talenta dalam bidang horor/thriller dan kita harapkan di waktu mendatang dapat muncul dengan karya yang lebih positif lagi daripada sebuah thriller kelas B dengan kualitas direct-to-DVD. Tidak sulit menebak film secara keseluruhan meski diyakini anda masih akan terpekik atau setidaknya terhenyak beberapa kali.

Durasi:
85 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 29 Maret 2011

TEBUS : Saat Kehormatan Menggantikan Nyawa

Tagline:
Hutang nyawa dibayar nyawa, aku ingin mereka semua mati!

Storyline:
Pebisnis tangguh, Rony Danuatmaja sangat menjaga kehormatan nama keluarganya kalau perlu dibayar dengan darah dan nyawa sekalipun. Ia beristrikan Sisca yang setia serta beranak tiga masing-masing Alarik, Ludmila, Karissa. Paska kematian Alarik karena overdosis, Rony pun mengasingkan keluarganya ke sebuah villa demi ketenangan untuk sementara waktu. Mereka tidak menyadari bahwa ada sekelompok orang yang mengintai dari luar yang menginginkan nyawa mereka satu persatu. Apa sesungguhnya motif yang mendasari teror tersebut?

Nice to know:
Diproduksi oleh Skylar Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Hollywood XXI pada tanggal 29 Maret 2011.

Cast:
Tio Pakusadewo sebagai Rony
Chintami Atmanagara sebagai Sisca
Revaldo sebagai Alarik
Sheila Marcia sebagai Ludmila
Luna Sabrina sebagai Karissa
Jajang C. Noor
Preddi Prahman

Director:
Film kedua Muhammad Yusuf bersama Skylar Pictures setelah Jinx tahun lalu.

Comment:
Aktor sekaliber Tio Pakusadewo memang tidak selalu mendapat peran utama dalam sebuah produksi film lokal beberapa tahun terakhir. Kali ini ia menjawab tantangan tersebut lewat peran Rony Danuatmaja yang ambisius dan perfeksionis. Menarik melihat bagaimana ia mengatur bisnis dan keluarganya sedemikian rupa hingga tidak melihat kehancuran yang perlahan-lahan merambat.
Dan di tangan Tio lah, film ini menjadi bernyawa lebih. Melebihi nama-nama lain yang mendukung film ini. Ia memimpin Chintami yang meski terlihat sudah “agak berisi” tapi masih memperlihatkan naluri istri sekaligus ibu yang baik. Ia mendidik anak-anaknya, Revaldo yang tampil meyakinkan sebagai pemadat bertubuh kurus, Sheila yang cuek, Luna yang lembut hati. Ia juga mati-matian berkonfrontasi dengan geng misterius yang mengancam nyawa keluarganya.
Sutradara Muhammad Yusuf jelas memperbaiki kinerjanya dibandingkan film sebelumnya. Terutama saat mengatur scene flashback untuk tetap sejajar dengan adegan masa kini plus konsep unfolding story tertata dengan baik yang berujung pada klimaks yang diharapkan penonton. Sayangnya pemilihan lokasi setting agak terkesan dipaksakan, bisa jadi demi mengejar sisi estetika.
Beby Hasibuan menulis skrip film ini dengan runut. Pembukaan yang berjalan lambat dimaksudkan untuk menangkap emosi anggota keluarga Danuatmaja beserta hubungan di antara mereka masing-masing. Setelah itu nuansa thriller mulai bergulir yang diperkuat dengan ilustrasi tembang Rindu Lukisan (dinyanyikan oleh Tio) yang mendayu-dayu beserta kejutan-kejutan berdarah yang terkadang muncul.
Namun bukan berarti tanpa kelemahan. Saat memasuki bagian penutupan, adegan eksekusi memang merupakan nilai minus yang paling kentara. Bagaimana sebuah pembantaian “simpel” dimana semua senjata sudah tersedia malah menjadi berlarut-larut dan tak heran malah memancing tawa penonton, bermaksud mendramatisir atau sekadar memperpanjang durasi? Sulit untuk dijawab.
Tebus merupakan sebuah drama thriller yang terkonstruksi dengan baik. Sebuah khasanah baru perfilman Indonesia yang lain dari biasanya. Walau belum sempurna tetapi hasilnya sudah cukup maksimal. Suatu contoh nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan yang berbaur dalam cinta dan dendam itu sendiri berujung pada tragedi yang sangat tidak diharapkan.

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Senin, 28 Maret 2011

OH TIDAK : Antara Kekasih Pengertian, Diri Sendiri dan Keluarga Ajaib

Quotes:
Meisya: Gak pake kertas minyak? Gak pake telat? Gak pake ke salon? Gak pake aturan jam makan? Gak pake diagram kalori? Gak pake dresscode? Gak ngebahas kerjaan? Handphone mati!

Storyline:
Gilang termasuk pria beruntung karena memiliki karier yang mapan, rumah yang megah serta kekasih yang cantik. Gaya hidupnya pun disesuaikan dengan konsep lelaki metroseksual masa kini dimana salon menjadi langganan dan segala aksesorisnya menjadi aset yang tidak boleh terlupakan. Hal ini cukup mengganggu Meisya yang harus selalu mengerti akan tindak tanduk kekasihnya itu. Gilang yang mulai berniat serius apalagi usia pacarannya sudah 2 tahun tiba-tiba kedatangan keluarganya yang membawa setumpuk masalah. Ayah ibunya yang ingin bercerai, kakeknya yang hiperseks, neneknya yang memiliki teman imajiner dan pamannya yang berkepribadian ganda akibat ditinggal istrinya. Akankah semua itu menghancurkan citra Gilang di mata Meisya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Starvision & Indie Picture dan rilis terbatas di jaringan bioskop Blitzmegaplex mulai 23 Maret 2011 yang lalu.

Cast:
Fathir Muchtar sebagai Gilang
Marsha Timothy sebagai Meisya
Marcella Loumowa sebagai Ibu Gilang
Djarwo Kuwat sebagai Bapak Gilang
Arie Dagienkz sebagai Paman Gilang
Sutrisna sebagai Kakek Gilang
Djaety sebagai Nenek Gilang

Director:
Ardi Octaviand terakhir menggarap Coklat Stroberi (2007) yang cukup sukses secara komersil itu.

Comment:
Sulit menentukan apakah film ini awalnya dibuat untuk layar lebar atau konsumsi televisi belaka. Jika melihat jajaran pemain dan penulis skripnya seharusnya opsi pertama. Namun jika mencermati plot cerita dan gaya eksekusinya kok FTV banget! Mungkin anda bisa berpendapat sendiri jika sudah menyaksikan yang satu ini. Tidak ada salahnya kan? Toh Marsha Timothy dan Fathir Muchtar juga bukan nama sembarangan.
Jika harus menerjemahkan screenplay garapan Upi kali ini maka bisa saya simpulkan dalam dua bagian utama saja yaitu hubungan antara Gilang dan Meisya serta Gilang dan keluarganya. Entah mengapa pada akhirnya kedua bagian tersebut dimix dengan tidak sempurna. Seharusnya bagian pertama berusaha menonjolkan unsur romantisme dan bagian kedua berupaya mengedepankan elemen humoris. Benar begitu?
Sayangnya sutradara Ardi tidak mampu mengeksekusi ide tersebut dengan mulus. Terkadang romantisme terasa hambar sedangkan humorisnya terasa cheesy. Semuanya serba tanggung dan membuat film ini seperti berpijak di atas dua perahu yang terombang-ambing yang masing-masing kesulitan menentukan lajunya. Jika ia pernah berhasil memadukan cinta dan persahabatan dalam Coklat Stroberi yang temanya sudah bold itu, kali ini formulanya tidak semudah itu.
Penampilan Marsha Timothy tidak bermasalah samasekali meski membuat saya bertanya-tanya bagaimana gadis secantik secerdas Meisya memiliki alasan untuk bertahan pada pria yang memperlakukannya semena-mena. Akting Fathir Muchtar sendiri cukup meyakinkan sebagai Gilang yang sulit menentukan prioritasnya sendiri walaupun sudah dianugerahi berkah sedemikian rupa. Keluarga Gilang memang dimainkan dengan ajaib oleh aktor-aktris yang memang sudah komedik dari sananya. Tidak adanya nama karakter masing-masing membuat kesemuanya terkesan sebagai pelengkap derita saja.
Jika anda berniat menyaksikan Oh Tidak sebaiknya tidak berekspektasi apapun. Nikmati saja sajian komedi situasi yang teramat ringan ini, mungkin hanya membuat anda mengernyitkan kening berkali-kali. Dan untuk menambah nilai fun cobalah membayangkan diri dalam posisi Gilang-Meisya disini. Dapatkah anda (penonton pria) menciptakan kebohongan yang masuk akal di depan wanita terkasih? Atau mampukah anda (penonton wanita) mempunyai toleransi sebesar Marsha demi lelaki tercinta? Jika jawabannya Oh No, selamat karena anda masih normal sebagai manusia yang terlahir berpasangan.

Durasi:
85 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 27 Maret 2011

ANOTHER YEAR : Elegi Empat Musim Pasutri Senja

Quotes:
Mary: On a scale of one to ten, how happy would you say you are, Janet?
Janet: One.
Mary: One. I think there's room for improvement there, don't you?

Storyline:
Geologis Tom dan konselor Gerri sudah menikah lebih dari 30 tahun dengan seorang putra bernama Joe. Mereka hidup bahagia selama bertahun-tahun melewati berbagai musim dan acara termasuk menyambut saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka diantaranya Mary yang bimbang, Ken yang kaku dan Ronnie yang pemurung setelah kematian istrinya Linda. Akankah ketidak bahagiaan orang-orang di sekitar mereka akan mempengaruhi Tom dan Gerri untuk melakukan sesuatu yang lebih bermakna lagi?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Thin Man Films dan Film4 serta dibantu Focus Feature dan UK Film Council.

Cast:
Pernah menggapai Oscar kategori Aktor Pendukung Terbaik dalam Iris (2001), Jim Broadbent berperan sebagai Tom
15 tahun bermain dalam serial televisi The Bill (1989-2004), Ruth Sheen bermain sebagai Gerri
Lesley Manville sebagai Mary
Oliver Maltman sebagai Joe
David Bradley sebagai Ronnie

Director:
Mike Leigh pertama kali dinominasikan Oscar tahun 2007 untuk 2 kategori masing-masing Best Writing Screenplay dan Best Director lewat Secrets & Lies (2006).

Comment:
Pernahkah membayangkan kehidupan anda sendiri di usia senja? Bersama pasangan, anak, kerabat ataupun relasi melewati hari-hari yang dipenuhi kenangan masa lampau dengan tawaan dan tangisan yang silih berganti menghampiri. Ritual sarapan, makan siang, makan malam bersama seakan menjadi rutinitas yang tidak terhindari sebagai mediator komunikasi yang acapkali luput dari perhatian anda.
Sutradara Leigh dengan cerdas membaginya ke dalam 4 musim yakni Autumn, Winter, Spring, Summer mengikuti pergerakan aktifitas suami-istri Tom-Gerri yang menjadi sentralisasi cerita. Tak jarang hobi mereka berkebun seakan mengisyaratkan peristiwa yang dialami mulai dari bersemi hingga berguguran. Spring yang menyedihkan, Summer yang hangat, Autumn yang romantik hingga Winter yang dingin penuh kehilangan. Ide yang orisinil dengan pendekatan yang teramat personal.
Kredit khusus patut diberikan pada performa Manville sebagai Mary yang selalu diliputi ketakutan dalam hidupnya. Bagaimana ekspresi kalut dan kalimat-kalimat galau selalu terlontar dari mulutnya. Sheen dan Broadbent juga solid sebagai pasangan tua yang hangat, yang selalu menyambut siapapun yang datang pada mereka sekalipun orang itu membawa masalah. Chemistry keduanya juga luar biasa karena dapat terlihat jenuh satu sama lain hingga bahagia bersama sekaligus. Selebihnya Maltman, Wight, Bradley juga memberikan dukungan yang tidak kalah pentingnya.
Tak bisa dipungkiri, dalam bersosialisasi tak jarang kita akan menemukan banyak hal, baik maupun buruk yang bisa jadi mempengaruhi kita sebagai individu. Terkadang kita bisa tertawa pada kesedihan karena merasa beruntung ataupun sedih pada kebahagiaan itu sendiri karena tidak dapat memilikinya. Pengalaman-pengalaman tersebut akjan memberikan pilihan-pilihan bagi anda untuk menjalani hidup macam apa yang anda inginkan.
Another Year merupakan drama sarat makna yang tidak peduli mengeksplorasi semua elemennya dengan teramat lambat dan sangat detail. Memang harus diakui membosankan tetapi rasanya sebanding dengan akting yang diperlihatkan aktor-aktrisnya. Film ditutup dengan konklusi tragis dimana kesepian dan kehilangan merupakan ketakutan umum yang dialami manusia.

Durasi:
125 menit

U.S. Box Office:
$3,076,358 till mid March 2011

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 26 Maret 2011

AFTER.LIFE : Ketakutan Akan Kematian (Atau Kehidupan)?

Tagline:
How do you save yourself when you're already dead?

Storyline:
Setelah bertengkar dengan kekasihnya Paul, Anna mengalami kecelakaan mobil yang fatal. Ia terbangun di atas sebuah dipan dimana pengatur pemakaman Eliot Deacon mengatakan bahwa dirinya telah meninggal. Bingung dan ketakutan, Anna tidak percaya bahwa ia telah meninggal. Eliot pun meyakinkannya bahwa ia memiliki kemampuan berkomunikasi dengan yang mati dan juga selalu ada masa transisi setelah kehidupan sebelum menuju kematian. Terperangkap di dalam rumah pemakaman, Anna terus berusaha mencari cara untuk mengetahui fakta yang sesungguhnya.

Nice-to-know:
Kate Bosworth dan Alfred Molina semula dikabarkan mengisi peran Anna dan Eliot.

Cast:
Peran Anna Taylor merupakan 1 dari 3 film yang dibintangi Christina Ricci di tahun 2009 selain All's Faire in Love dan New York, I Love You.
Baru saja kemarin bermain bersama Julianne Moore dan Amanda Seyfried, Liam Neeson berperan sebagai Eliot Deacon
Justin Long sebagai Paul Coleman
Chandler Canterbury sebagai Jack

Director:
Feature film pertama Agnieszka Wojtowicz-Vosloo setelah sebuah film pendek berjudul Pâté di tahun 2001.

Comment:
Sebuah film bertemakan kematian memang tidak pernah mudah untuk disaksikan. Karena biasanya memiliki kompleksitas pemahaman yang dalam dari berbagai segi seperti perasaan kehilangan ataupun menerima fakta bahwa ia telah tiada dan sebagainya. Dua hal itulah yang ditekankan oleh sutradara Wojtowicz-Vosloo lewat kedalaman eksekusi cerita yang dilakukannya dengan mumpuni.
Itulah sebabnya film ini kental dengan sentuhan feminism dari sudut pandang Anna. Bagaimana Anna yang takut akan komitmen, Anna yang rapuh melihat segala sesuatu yang dihadapinya, Anna yang bingung menyikapi hidupnya sendiri dan 1001 pertanyaan lain yang memang tidak sempat dikemukakan tapi kita dapat menangkapnya berkecamuk dalam benak Anna.
Penunjukkan Ricci sebagai Anna sangatlah tepat. Ia terlihat galau dan gamang di setiap kesempatan yang disodorkan padanya. Namun tidak mengurangi asumsi bahwa dirinya adalah wanita yang tangguh. Tak lupa sensualitas seorang Ricci tidak diragukan lagi, terlebih ia diharuskan tampil tanpa busana di berbagai scene yang menuntutnya begitu.
Neeson dan Long juga memberikan warna tersendiri disini. Kita akan melihat kekakuan Liam dalam sosok Eliot mulai dari intonasinya yang datar dan ekspresinya yang monoton. Ketenangannya tertangkap di setiap tindakannya. Sedangkan sosok kekasih yang gila kerja dan tak jarang kesulitan bersikapnya sendiri juga dihidupkan oleh Justin dengan pas. Kekalutan dan kedepresiannya juga terekam secara maksimal meskipun scene yang ditawarkan kepadanya tidak demikian dominan.
Banyak hal yang tidak terjelaskan dalam skrip yang ditulis oleh Agnieszka-Paul Vosloo dan Jakub Korolczuk ini. Membuat penonton mereka-reka sendiri dalam permainan pikiran mereka walau tak jarang akan membosankan bagi yang tidak mau berusaha mengerti. Gambaran sesungguhnya konsep kehidupan setelah kematian juga tidak dieksplorasi secara detail sehingga bisa jadi anda hanya akan merasakan betapa pahitnya (atau mengerikannya) pengalaman tersebut.
After.life bukanlah sembarang horor drama thriller supernatural atau apapun anda menyebutnya. Ini adalah pengalaman sinema dengan perdebatan panjang yang sesungguhnya bermakna dalam. Anda akan diajak menjawab pertanyaan dasar sebagai berikut: “Apakah sesungguhnya anda lebih takut akan kematian dibandingkan kehidupan itu sendiri?” Jawaban itu tidak perlu anda jawab melainkan sudah tercermin dalam tindakan anda sehari-hari.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$106,472 till Apr 2010

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 25 Maret 2011

THE GRAVEDANCERS : Tarian Pembangkit Arwah Mematikan

Quotes:
Sid Vance: You just can't find good paranormal help, these days.

Storyline:
Setelah pemakaman sahabat lama Devin yang tewas dalam kecelakaan mobil, Harris berjumpa kembali dengan Kira dan Sid yang juga bersekolah di tempat yang sama dahulu. Harris meminta ijin istrinya, Allison untuk pergi bersama Kira dan Sid untuk bernostalgia sejenak. Mereka malah menyambangi Cresent View Cemetery dan saat mabuk membaca syair kuno sambil menari di atas kuburan. Tindakan mereka itu membangkitkan arwah pemerkosa, pembunuh berkampak dan anak kecil yang terobsesi oleh api. Dibantu ahli paranormal Vincent Cochet dan asistennya Frances, mereka harus melewati satu purnama untuk bisa lepas dari kutukan maut tersebut.

Nice-to-know:
Pertama kali muncul trailernya pada tahun 2005 di bioskop-bioskop Ibukota. Dipeti eskan selama bertahun-tahun hingga akhirnya rilis juga pada tahun 2011 ini.

Cast:
Dominic Purcell pernah memenangkan Best Actor pada International Award Australian Film Institute di tahun 2007 lewat Prison Break (2005). Kali ini ia berperan sebagai Harris McKay
Josie Maran sebagai Kira Hayden
Clare Kramer sebagai Allison Mitchell
Marcus Thomas sebagai Sid Vance
Tchéky Karyo sebagai Vincent Cochet
Megahn Perry sebagai Frances Culpepper

Director:
Terakhir bersama Dave Parker, Mike Mendez menggarap Masters Of Horror (2002) untuk dokumenter televisi.

Comment:
Film ini adalah salah satu contoh dari sedikitnya horor selama satu dekade terakhir yang berhasil menakuti secara konvensional. Anda akan menemukan pintu yang tiba-tiba terbuka, piano yang berdenting sendiri, suara-suara misterius tanpa wujud, bayangan sekelebat, derak dinding yang berdecit yang dijamin mendirikan bulu kuduk dalam suasana malam hari.
Sutradara Mendez dengan pandai menyuguhkan spesial efek sewajar mungkin untuk memainkan sisi psikologis penonton. Lumayan menggebrak di awal, tensi film agak menurun di pertengahan menjelang akhir. Penyebabnya adalah pengenalan karakter demi karakter yang terlibat di dalamnya plus pembangunan konstruksi cerita yang mengarah pada ending yang ditunggu-tunggu.
Para aktor aktris yang mengisi cast film ini juga bermain tidak mengecewakan. Purcell dan Kramer berbagi chemistry yang cukup baik sebagai pasutri. Kehadiran duet Karyo dan Perry juga cukup memberikan warna tersendiri sebagai paranormal investigator. Sayangnya Maran dan Thomas tidak mendapatkan ruang yang cukup dimana tokoh yang mereka perankan tidak muncul secara konsisten.
Yang cukup disayangkan adalah endingnya seperti antiklimaks dimana campur tangan CGI terasa terlalu berlebihan. Esensi tradisional yang dibangun sejak menit pertama menjadi berantakan karena make-up hantu yang dipaksakan nyata sehingga tak lebih seperti topeng Halloween ataupun tengkorak imitasi yang biasa digunakan Fakultas Kedokteran.
Kekuatan utama The Gravedancers adalah kisah yang original dengan balutan elemen ketakutan yang cukup menarik terutama di paruh pertama film. Mengingat bujet rendah yang digunakannya, tidak heran jika film ini langsung rilis dalam format DVD karena kesulitan dalam strategi promosinya. Namun jika anda tetap penasaran, waktu satu setengah jam seharusnya tidak akan sia-sia untuk memuaskan dahaga akan genre horor yang sudah sulit terbangun dengan baik belakangan ini.

Durasi:
95 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 24 Maret 2011

I SPIT ON YOUR GRAVE : Balas Dendam Kejutan Korban Pemerkosaan

Quotes:
Storch: She's just an innocent girl!
Jennifer: So was I.

Storyline:
Penulis Jennifer Hills menyepi dari kota besar untuk menyelesaikan karya terbarunya. Ia memilih sebuah villa megah yang tenang di tengah hutan yang menghadap ke sungai sehingga bisa lebih berkonsentrasi. Sayangnya kehadirannya malah menarik perhatian tiga pemuda kota kecil bermoral rendah tersebut masing-masing Johnny, Andy dan Stanley yang kemudian melakukan pelecehan terhadapnya. Sheriff setempat Storch yang dianggap penolong ternyata malah sama rusaknya. Jennifer pun menjadi “bulan-bulanan” dan nyaris tewas sebelum menceburkan dirinya yang sudah terkoyak. Beberapa waktu kemudian, Jennifer kembali untuk rencana balas dendam yang lebih mengerikan lagi.

Nice-to-know:
Menurut Jeff Branson, 7 hasil edit didaftarkan kembali ke MPAA agar tetap mendapatkan rating Dewasa dan tidak mengganggu peredaran internasionalnya. Namun produser akhirnya menempuh jalan lain yaitu merilis Original Cut tanpa rating dari MPAA.

Cast:
Sempat mendukung serial televisi Vampires (2009-2010), Sarah Butler bermain sebagai Jennifer
Angkat nama lewat serial televisi berjudul All My Children (2004-2007),
Jeff Branson berperan sebagai Johnny
Andrew Howard sebagai Storch
Daniel Franzese sebagai Stanley
Rodney Eastman sebagai Andy
Chad Lindberg sebagai Matthew
Tracey Walter sebagai Earl

Director:
Karya terbaik sejauh ini bagi Steven R. Monroe mungkin saja House of 9 (2005).

Comment:
Sayangnya saya tidak sempat menyaksikan versi 1978 nya sehingga tidak memiliki prediksi apapun terhadap film ini. Satu fakta yang saya tahu adalah kemiripan plot cerita dengan Last House on the Left yang sama-sama diremake dari era yang sama itu yaitu pelaku pemerkosaan yang mendapat ganjaran setimpal akan perbuatan bejat yang telah dilakukannya.
Tidak heran jika unsur kekerasan, pelecehan seksual, kesadisan dalam tingkat akut mewarnai film ini. Sebuah kontroversi yang jelas akan memicu larangan pemutaran film ini di sejumlah negara ataupun tayang dalam porsi pincang setelah disensor habis-habisan. Terlebih pembalasan itu dilakukan oleh seorang wanita. Anda bisa lakukan studi banding dalam menontonnya apakah perbuatan A di paruh pertama pantas dibayar dengan perbuatan B di paruh kedua?
Secara pribadi saya beranggapan apa yang dilakukan Johnny, Storch, Matthew, Andy, Stanley terhadap Jennifer memang di luar batas tapi tidak sampai batas maksimal. Mohon koreksi jika ternyata versi yang saya tonton ternyata sudah “direvisi” alias diperhalus. Terlebih kinerja pembalasan Jennifer memang teramat mengerikan terhadap kawanan pria bejat tersebut. Yang menjadi pertanyaan besar adalah semua jebakan sudah tiba-tiba terpasang begitu saja sehingga penonton sudah tinggal duduk menyaksikan “permainan maut” itu tanpa diperlihatkan prosesnya samasekali.
Sutradara Monroe mampu memainkan kameranya secara maksimal. Lokasi terpencil yang sebetulnya indah itu menjadi teramat realistis sebagai panggung kebiadaban manusia dengan nafsu binatang dan naluri membunuhnya. Memang terasa lambat dalam mencapai proses demi proses tapi semestinya penonton mampu menangkap sisi psikologis yang ingin disampaikan senyata-nyatanya.
Terlepas dari perbedaan kualitas dengan originalnya, I Spit On Your Grave tetaplah sebuah drama thriller yang mengganggu batin dan memuaskan jiwa secara kontradiktif. Cobalah membiasakan diri dengan suguhan darah dalam tingkat kejiwaan yang berbeda-beda. Terlebih menyaksikan Sarah Butler yang berakting dengan gemilang dalam mengeksplorasi transformasinya dari obyek menjadi subyek. Bukankah pembalasan memang harus lebih segala-galanya?


Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$92,401 till Nov 2010

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 23 Maret 2011

YOU WILL MEET A TALL DARK STRANGER : Kala Cinta dan Rumah Tangga Dipertaruhkan

Tagline:
“Life’s but a walking shadow … full of sound and fury, signifying nothing.”

Storyline:
Pasutri berumur, Alfie dan Helena memiliki seorang putri berkarir di galeri lukisan bernama Sally yang bersuamikan Roy yang berprofesi sebagai penulis. Saat Alfie terang-terangan meninggalkan Helena setelah menikah selama 40 tahun demi pelacur muda bernama Charmaine, perkawinan Sally dan Roy juga di ujung tanduk. Berbagai masalah yang muncul akibat semangat, ambisi, kondisi sosial kejiwaan yang saling berbenturan mulai mempengaruhi hilangnya kasih sayang dalam pribadi mereka masing-masing. Helena mulai menemui peramal bernama Cristal, Sally yang jatuh hati pada atasannya Greg, Roy yang diam-diam mencuri pandang tetangga barunya Dia. Benarkah kebahagiaan yang baru demikian mudahnya ditemukan begitu saja?

Nice-to-know:
Film panjang pertama yang disutradarai oleh Woody Allen tanpa diproduseri oleh Charles H. Joffe yang meninggal pada bulan Juli 2008. Kerjasama mereka sebelumnya sudah terjalin selama hampir 40 tahun.

Cast:
Gemma Jones sebagai Helena Shebritch
Pauline Collins sebagai Cristal
Anthony Hopkins sebagai Alfie Shebritch
Naomi Watts sebagai Sally Channing
Josh Brolin sebagai Roy Channing
Freida Pinto sebagai Dia
Antonio Banderas sebagai Greg
Lucy Punch sebagai Charmaine
Anna Friel sebagai Iris

Director:
Woody Allen pertama kali memenangkan Oscar di tahun 1987 kategori Best Writing, Screenplay Written Directly for the Screen dalam film Hannah and Her Sisters (1986).

Comment:
Film ini lebih merupakan sebuah esai panjang yang kompleks mengenai kebimbangan manusia dalam menyikapi hubungan suami istri tanpa melihat gender, usia, status sosial dsb. Drama “berat” yang disajikan senyata mungkin lewat berbagai sudut pandang yang silih berganti menempati framenya masing-masing. Saya jamin beberapa di antara anda pasti merasa sedang berkaca ketika menyaksikannya.
Seorang Woody Allen saat duduk di bangku sutradara memang piawai menggarap tema serupa yang juga pernah dilakukannya sebelum ini. Sedikit perbedaan mungkin di setting tempat dimana kali ini nuansa British di London sangat ditonjolkan termasuk aksen dan gaya hidup. Sepintas memang terasa ringan-ringan saja tapi jika ditelaah lebih jauh, banyak sekali elemen perasaan yang bisa anda peroleh disini tanpa perlu saya sebutkan satu persatu.
Ensembel cast menghadirkan nama-nama beken disini. Namun favorit saya jatuh pada Jones dan Watts termasuk scene adu pendapat antara ibu dan anak tersebut dimana harapan dan depresi berbaur menjadi satu. Tidak lupa menyebutkan bintang senior Hopkins, Collins, Banderas, Brolin dan junior macam Pinto, Punch, Friel yang semakin memberikan warna. Nyaris tidak ada yang terlalu dominan di antara mereka karena porsinya sudah diatur sedemikian rupa.
Opening dan endingnya memang tidak mengenai timeline dimana dapat dimulai dan disudahi kapan saja. Bahkan dirasa tidak perlu ada penyelesaian lebih lanjut atas segala konflik yang telah dikembangkan sejak awal. Hal ini akan memaksa anda menyimpulkan sendiri dan membuat pemahaman masing-masing. Terima kasih atas gaya penceritaan yang sedemikian unik dapat menggiring penonton untuk menggunakan imajinasinya.
You Will Meet A Tall Dark Stranger benar-benar mengartikan konsep “Anda akan menonton suatu film asing yang gelap sekaligus bermakna.” Diiringi musik latar ringan yang terkadang mengajak anda tersenyum dengan sarkastis, film ini akan mengajarkan banyak hal untuk direnungi. Cobalah melihat kembali cinta yang sudah anda punyai dalam hidup ini dan siapkah anda mempertaruhkannya untuk sesuatu yang belum pasti anda raih? Butuh bantuan ahli nujum untuk menjawabnya, mungkin?

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$3,247,816 till Feb 2011

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 22 Maret 2011

MISTERI HANTU SELULAR : Teror Ponsel Merenggut Nyawa

Quotes:
Rama: La, loe pingsan aja ya, jangan melotot, kepala jangan muter, gw takut, gw kan temen loe..

Storyline:
Bereuni di vila Jalatunda awalnya menyenangkan bagi Viki, Alyssa, Cintya, Rama, Rezky, dan Olla yang berasal dari satu SMA. Acara puncaknya adalah pengakuan dosa yang dilakukan via sms. Namun Alyssa dan Viki malah bermesraan di gudang hingga berujung pada tewasnya Alyssa dan Viki sendiri tidak dapat mengingat apapun. Setahun berlalu, kelima sahabat itu mulai diteror oleh telepon misterius dari ponsel bersuara “sinden” yang aneh. Ketika memutuskan kembali ke villa Jalatunda, muda-mudi tersebut mulai menghilang satu persatu. Benarkah hantu tersebut adalah arwah Alyssa yang gentayangan?

Nice to know:
Diproduksi oleh D’ Lalang Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Epicentrum XXI pada tanggal 22 Maret 2011.

Cast:
Gita Sinaga sebagai Cynthia
Boy Hamzah sebagai Vicky
Celine Evangelista sebagai Canting
Udji Tongki
Umar Syarif
Reyna Venzka
Guruh Sukarno Putra
Permadi Sh

Director:
Debut film bagi Indra Tirtana.

Comment:
Pesimis adalah kata pertama yang terlintas dalam benak saya saat memutuskan nonton film ini, terlebih melihat trailernya yang tidak meyakinkan itu. Prediksi itu tidak salah karena saya informasikan film ini resmi mengisi salah satu kandidat 5 film nasional terburuk di tahun 2011. Entah apa yang ada di pikiran Yissa Luthana dalam mengerjakan skripnya yang saya curiga hanya beberapa kalimat saja karena teramat miskin dalam penceritaan.
Film dibuka dengan scene “aneh” dimana para pemainnya diwajibkan melakukan “narasi” dalam beberapa kalimat yang menjadi sebab musabab peristiwa. Setelah itu tiba-tiba saja waktu bergulir menjadi satu tahun kemudian dan muncullah teror telepon selular yang menghadirkan ringtone “nyinden”. Keanehan yang sebetulnya tidak terlalu mengganggu itu malah menggiring kelimanya untuk melakukan hal klise atas instruksi seorang dukun yaitu menyelesaikan segala sesuatu yang sudah dimulai.
Mereka pun pergi ke sebuah villa luas dengan berbagai ruang yang berlanjut ke sebuah hotel sebagai pamungkasnya. Jika anda perhatikan timeline yang digunakan teramat berantakan dimana suasana pagi-siang-sore-malam seringkali terjadi dalam sekali loncatan sehingga tidak penting lagi. Apakah mereka melakukan stripping movie dalam sehari semalam? Saya tidak terlalu penasaran untuk mencari tahu.
Kinerja sutradara Indra juga tidak lebih baik. Ia terasa kesulitan memadukan teknis-teknis dasar sebuah film. Saya memang bukan orang film tetapi saya menangkap dengan jelas penggunaan musik latar yang tidak pada tempatnya, sound effect yang tidak sinkron dengan adegan, visual effect yang sangat kasar, editing yang tidak mulus dan lain-lain. Padahal sinematografinya sendiri sebetulnya tidak seburuk itu walau seharusnya Candi Dieng, Telaga Warna dan area sekitar Wonosobo dapat menghadirkan lanskap yang lebih optimal lagi.
Dari cast kesemuanya bermain buruk. Masing-masing berakting datar dan berekspresi tidak maksimal terutama dalam menampilkan ketakutan. Chemistry nya juga terkesan mengganggu dengan lontaran dialog yang samasekali tidak nyaman didengar. Hal ini memang tidak sepenuhnya menjadi kesalahan mereka karena tidak adanya penokohan yang rasional disini. Kemunculan GSP sebagai pemilik galeri juga rasanya tidak berarti apa-apa bagi dirinya selain numpang lewat.
Menyaksikan Misteri Hantu Selular adalah pengalaman bersinema yang baru sekaligus unik dimana border apapun tidak berlaku disini. Semua dimix menjadi satu tanpa konsep yang baku sekalipun. Membuat saya berulang kali tertawa pahit tanpa alasan melihat adegan-adegan “tidak wajar” yang disuguhkan sambil sesekali menelan ludah menyaksikan satu persatu penonton beranjak dari tempat duduknya. Berpikir dalam-dalam akan motif saya bertahan hingga menit terakhir selain untuk mencari tahu twist apa yang kira-kira bisa dipertanggung jawabkan sebagai penutup film.
Yakin ingin tahu jawabannya? Bayangkan saat antagonis dan protagonis berdiri berhadapan untuk saling menjelaskan profil dan masa lalu masing-masing di bawah teknik kamera berputar 360 derajat berulang-ulang. Brilian! Rasa pusing pun menyerang berakumulasi dengan rasa mual sejak menit pertama film bergulir, beruntung tidak sampai membuat saya memuntahkan seluruh makan malam yang sudah tertelan.

Durasi:
90 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:

Senin, 21 Maret 2011

SKANDAL : Perselingkuhan Berbuntut Permainan Maut

Tagline:
Semua perselingkuhan berakibat bencana..
Jika ingin keluarga harmonis, jauhi X (mantan)

Storyline:
Kesibukan Aaron membuat Mischa merasa teramat jenuh dengan kehidupan rumah tangganya. Belum lagi nafkah batin yang tidak terpenuhi membuatnya uring-uringan bahkan mencurigai suaminya main gila dengan sang sekretarisnya di kantor. Pertemuan tak sengaja dengan mantan kekasihnya Vincent di sebuah kafe membuat Mischa tergelitik untuk melepaskan hasratnya. Dimulai dari pembicaraan singkat via ponsel yang berujung pada kedatangan Mischa di apartemen sekaligus galeri foto Vincent. Perselingkuhan pun tak terhindar lagi hingga Mischa merasa sudah “cukup” bermain-main karena tak ingin mengambil resiko kehilangan suami dan anaknya. Namun rupanya Vincent tak tinggal diam dan mulai bertindak di luar batas.

Nice to know:
Diproduksi oleh Sentra Film dan gala premierenya dilangsungkan di Planet Hollywood XXI pada tanggal 17 Maret 2011.

Cast:
Merupakan film ke-12 bagi Uli Auliani setelah tahun lalu bermain dalam 3 film Nayato. Disini ia berperan sebagai Mischa yang dilema terhadap keluarganya selepas melakukan kesalahan fatal.
Debut aktingnya dilakoni dalam Jakarta Undercover (2006), kali ini Mario Lawalata bermain sebagai Vincent yang posesif dan tidak pernah mementingkan komitmen pernikahan dalam asmaranya.
Mike Lucock sebagai Aaron
Laras Monca
Gary Iskak
Febriyani Ferdzille

Director:
Kembalinya Jose Poernomo setelah 2 tahun lalu menggarap Kirun + Adul yang bergenre komedi remaja itu.

Comment:
Dari belahan dunia barat banyak sekali kita temui thriller bertemakan perselingkuhan, mulai dari kelas A macam Fatal Attraction (1987) hingga kelas B seperti Zebra Lounge (2001) yang kebetulan posternya mirip dengan yang satu ini. Semua mengetengahkan plot yang hampir mirip dimana kegiatan senang-senang sesaat tersebut seringkali berakhir tidak menyenangkan yang berujung pada tindakan obsesif yang berlebihan.
Kali ini Jose berusaha membuat versi lokalnya dengan judul awal X yang kemudian berganti seiring proses finalisasi. Sebetulnya tidak ada yang baru karena adegan demi adegan rasanya sudah bisa anda tebak dengan mata kepala tertutup. Yang membedakan adalah penekanan dan pemberian karakterisasinya yang banyak disesuaikan dengan budaya Timur.
Trio bintang utama bergantian berbagi scene sekaligus chemistry dengan baik. Uli sebagai Mischa merupakan karakter kunci disini dan ia mampu menerjemahkan tokoh seorang istri “kesepian” dengan sangat baik dimana emosi campur aduknya berhasil terekam kamera. Bagaimana perasaan senang dan puas yang menggebu-gebu begitu kontras dengan perasaan takut dan menyesal yang menggedor hati nuraninya.
Bagaimana dengan Mike dan Mario? Sebagai suami yang tidak “peka”, Mike bermain wajar dan manusiawi. Namun skrip sendiri memang tampaknya lebih memposisikan tokoh Aaron di belakang. Beda dengan Mario yang cukup dominan dimana perubahan kepribadiannya dari awal hingga akhir dapat ditangkap dengan baik. Meski terkesan kurang garang dinilai dari intonasi suaranya tapi tampaknya ia sudah berusaha maksimal menghidupkan sosok pria posesif Vincent.
Jika anda mempertanyakan frekuensi sex scene yang terkandung dalam film ini maka jawabannya cukup tinggi. Namun jangan berharap terlalu banyak dulu. Semua adegan eksplisit tersebut diperhalus ataupun dikaburkan dengan konsep fade in/out, semua hasil permainan kamera yang notabene mengandalkan angle. Sehingga sisi artnya dapat lebih ditonjolkan dibandingkan unsur murahan yang biasanya muncul dalam film-film berkualitas rendah.
Saya acungi jempol pada keberanian Jose menyisipkan twist unik dan eksekusi ending yang kreatif dimana potret masa lalu masa kini silih berganti mengisi frame. Kekurangannya adalah teror psikologis yang masih kurang kuat selayaknya yang biasa timbul dalam film sejenis dan juga beberapa detail yang masih tergarap lemah dalam mendukung bangunan cerita. Namun Skandal tetaplah saya rekomendasikan kepada anda semua akan “keberaniannya” tentu dalam konteks yang positif sekaligus menjadi alternatif film lokal yang cukup bermutu di tengah keseragaman tema yang sudah semakin meresahkan itu.

Durasi:
90 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 20 Maret 2011

AFRICA UNITED : Perjalanan Penuh Warna Menuju World Cup

Tagline:
Anything is possible.

Storyline:
Dudu, Fabrice dan Beatrice memiliki mimpi yang sama yaitu menyaksikan pertandingan sepakbola dalam ajang Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Berbekal modal seadanya, mereka menempuh jarak 7 negara sepanjang 3000 mil dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, ketiganya menemui hal-hal baru, kadang baik, kadang buruk yang mungkin mengubah perspektif masing-masing akan kehidupan itu sendiri. Mimpi memang tak mudah diraih, tapi apakah lantas menyerah sebelum mencoba meraihnya?

Nice-to-know:
Merupakan kolaborasi Pathe Productions, Footprint Films, Link Media Production, Out of Africa Entertainment dan BBC Films.

Cast:

Eriya Ndayambaje sebagai Dudu
Roger Nsengiyumva sebagai Fabrice
Sanyu Joanita Kintu sebagai Beatrice
Yves Dusenge sebagai Foreman George
Sherrie Silver sebagai Celeste
Emmanuel Jal sebagai Tulu

Director:
Debs Gardner-Paterson pernah memenangkan Honorable Mention lewat We Are All Rwandans (2008) dalam ajang Los Angeles Pan African Film Festival.

Comment:
Gegap gempita Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan yang lalu memang telah usai. Ternyata ada sebuah film dari Rwanda yang mengambil event tersebut sebagai latar belakangnya. Dikonsep sebagai road movie dimana tokoh utamanya adalah sekumpulan bocah dan anak-anak asli sana.
Sutradara wanita Gardner-Paterson juga memberikan nuansa kekeluargaan yang kental dengan semangat sekaligus rasa humor yang penuh warna. Pengalamannya menggarap berbagai film pendek sebelumnya turut andil memberikan gaya yang berbeda. Sepintas kita merasa film ini adalah kumpulan klip yang disatukan tetapi dengan editing yang teramat rapi dan jangkauan sinematografi yang cukup luas.
Kelima aktor anak-anak yang bermain disini masing-masing memiliki hubungan yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tampil natural dimana mereka berakting dengan hati sehingga proses pendewasaan yang terangkai lewat petualangan berhasil disajikan dengan maksimal. Nilai-nilai persahabatan tidak lupa disisipkan terutama saat mengatasi berbagai macam masalah yang menghadang.
Africa United secara tidak langsung akan menginspirasi kaum muda dimanapun juga untuk tetap melakukan hal yang luar biasa di tempat yang paling biasa sekalipun. Beberapa isu penting seperti larangan seks bebas, penyebaran AIDS ataupun terorisme terhadap anak turut dihadirkan tanpa terkesan menggurui. Keseluruhan durasinya bisa jadi terasa lambat, beruntung beberapa hit yang mengisi soundtrack nya mampu mempertahankan energi film.

Durasi:
85 menit

U.K. Box Office:
£105,151 till Oct 2010

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 19 Maret 2011

GNOMEO & JULIET : Perkelahian Membutakan Cinta Penghuni Kebun

Tagline:
A little adventure goes a lawn way.

Storyline:
Montague dan Capulet bukan lagi dua keluarga yang berseteru melainkan dua tetangga yang tidak cocok satu sama lain. Hal ini terjadi juga pada para penghuni kebun mereka yang terbagi menjadi topi merah yang dikepalai Lord Redbrick dan topi biru yang diketuai oleh Lady Blueberry. Masing-masing berusaha mempertahankan areanya dan menghancurkan area lawan. Hingga pada suatu malam saat mengincar anggrek bulan, Gnomeo si topi biru tanpa sengaja bertemu dengan Juliet si topi merah. Dikarenakan masing-masing sedang dalam penyamaran, keduanya pun jatuh cinta. Akankah romansa terlarang tersebut pada akhirnya dapat berakhir bahagia?

Nice-to-know:
Awalnya Ewan McGregor dan Kate Winslet akan menyuarakan Gnomeo & Juliet pada saat produksi film diumumkan.

Voice:
James McAvoy sebagai Gnomeo
Emily Blunt sebagai Juliet
Ashley Jensen sebagai Nanette
Michael Caine sebagai Lord Redbrick
Matt Lucas sebagai Benny
Maggie Smith sebagai Lady Bluebury
Jason Statham sebagai Tybalt
Patrick Stewart sebagai Bill Shakespeare
Julie Walters sebagai Miss Montague

Director:
Sebelumnya Kelly Asbury merupakan salah satu dari tiga yang menyutradarai Shrek 2 (2004).

Comment:
Siapa yang tidak mengenal adaptasi Shakespeare ini yang kemudian coba ditularkan pada generasi yang lebih muda. Ya film ini memang terasa sekali ditujukan pada anak-anak sebelum mereka mengenal percintaan tragis yang sesungguhnya. Segala sesuatu pada plot ceritanya memang dipermudah dan diperhalus sedemikian rupa sehingga tak jarang kita akan menganggap semua karakter disini adalah mainan. Mengingatkan anda pada premis Toy Story? Benar sekali!
Pengenalan satu persatu karakternya dilakukan secara singkat dan cepat. Oleh karena begitu banyaknya cameo, maka kekuatan masing-masing karakter terasa lemah. Belum lagi ekspresi tokoh-tokoh tergolong kaku yang seharusnya memberikan kontribusi pada sisi emosional yang lebih kentara. Dengan demikian sulit rasanya penonton untuk ,ai bersikap peduli pada mereka termasuk pada Gnomeo dan Juliet itu sendiri.
Sulih suara yang dilakukan oleh aktor-aktris ternama juga tidak berjalan dengan maksimal. McAvoy dan Blunt merupakan aktor-aktris berbakat tapi tanpa melihat wajah mereka rasanya suara dapat diganti siapapun juga. Sederet nama kaliber semisal Caine ataupun Walters tidak memorable samasekali. Semakin menyiratkan kesalahan dalam casting atau memang skrip yang tidak memberikan ruang tersebut?
Sutradara Asbury memang sudah berusaha melakukan usaha terbaiknya untuk mengangkat tema yang biasa-biasa saja menjadi tontonan yang tetap fresh dan berisi. Saya katakan ia berhasil karena di tangan orang lain, bisa jadi hasil akhirnya akan lebih buruk lagi. Ide untuk menggunakan beberapa tembang lawas Elton John sebagai latar belakang musik memang cukup kreatif meskipun tidak berarti banyak selain sebagai pengiring tarian para tokohnya terutama pada bagian ending.
Gnomeo & Juliet menarik untuk penonton muda tapi bagi orang dewasa terasa flat dan sedikit membosankan. Scene demi scene disajikan dalam tempo lambat dan tidak melulu didukung oleh logika yang pantas. Animasinya tidak luar biasa walaupun Disney sudah merombaknya sedemikian rupa supaya berciri khas langsung dengan imajinasi William Shakespeare yang kebetulan karakternya juga muncul disini. Penggunaan efek 3D nya tidak terlalu signifikan sehingga versi 2D nya sudah lebih dari cukup untuk anda saksikan bersama anak-anak atau adik-adik anda.

Durasi:
75 menit

U.S. Box Office:
$89,102,365 till March 2011

Overall:

7 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 18 Maret 2011

THE PARIS EXPRESS : Misi Antar Paket Biang Masalah

Tagline:
Express Delivery.. Zero Stress..

Storyline:
Seorang kurir ekspress, Sam dengan skuternya bertekad menyelesaikan pekerjaan dadakan yang memberinya komisi besar dalam waktu sesingkat mungkin. Berbagai cara ditempuhnya demi menepati janji tepat waktu ke pesta pernikahan saudara kekasihnya, Nadia. Sayangnya tugas yang dikira mudah itu ternyata melibatkan banyak pihak yang mengincar paket tersebut. Kini Sam harus memutar otaknya untuk dapat menyelamatkan harinya sekaligus dirinya sendiri dari bahaya yang timbul satu-persatu.

Nice-to-know:
Berjudul asli Coursier dalam bahasa Perancis yang berarti kurir.

Cast:
Baru saja tampil sebagai Billy The Kid dalam Lucky Luke (2009), Michaël Youn kebagian peran sebagai Samuel Skjqurilngskwicz.
Géraldine Nakache sebagai Nadia
Jimmy Jean-Louis sebagai Steve Loki
Didier Flamand sebagai Maurice Skjqurilngskwicz
Catalina Denis sebagai Louise
Natalia Dontcheva sebagai Iris

Director:
Merupakan film kedua Hervé Renoh setelah Requiem (2001).

Comment:
Bisa jadi ide film ini muncul dari gabungan antara Taxi dan The Transporter, hanya saja unsur serius yang sedikit ditinggalkan dan digantikan oleh unsur komedi. Menarik rasanya melihat Europa Corp. yang juga dibentuk salah satunya oleh Luc Besson dalam menghasilkan film-film Perancis dengan berbagai genre yang bisa dijual di pasaran internasional.
Walau terbilang minim pengalaman, sutradara Renoh cukup handal meramu bumbu aksi dengan komedi secara seimbang di sepanjang durasinya. Anda juga seakan diajak tour menelusuri semua sudut jalan dan distrik kota Paris lewat petualangan Samuel dengan skuternya. Scene panjang dan pendek bergantian dihadirkan sebagai amplitudo ketegangan.
Pemilihan Youn sebagai Samuel memang terasa dapat dipercaya sebagai pria biasa yang berubah menjadi pahlawan dadakan. Meskipun kelemahan skrip dalam menggiringnya ke proses tersebut cukup terlihat. Nakache dan Denis terlihat pas sebagai dua karakter utama wanita. Sedangkan dari sisi antagonis tidaklah terlalu menakutkan mengingat sisi komedinya cukup dominan sehingga berbagai tingkah karikatural juga muncul disini. Lumayan menyenangkan melihat situasi tak diharapkan dapat disikapi secara jenaka oleh para tokoh disini yang kebetulan saling berbagi layar secara natural.
Walaupun di beberapa adegan krusial terasa berantakan karena dieksekusi terburu-buru (entah disengaja atau tidak demi menyiasati kekurangan yang mungkin timbul), The Paris Express cukup memenuhi standar tontonan aksi komedi yang fun untuk disaksikan di waktu senggang anda. Saran saya jangan coba-coba menyebutkan nama belakang Samuel jika tidak ingin lidah anda keseleo. Ending yang chaos memberikan twist yang menggelitik walau sebetulnya tidak baru. Berbagai ciri khas action tahun 80an akan muncul kembali disini seperti salah satu contohnya senjata palsu yang dapat mengecoh perhatian orang.

Durasi:
90 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter: