XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Jumat, 31 Agustus 2012

MY WEEK WITH MARILYN : Vulnerable Monroe In Strong Williams' Act

Quotes:
Arthur Jacobs: Marilyn, is it true you wear nothing in bed but Perfume?
Marilyn Monroe: Darling, as I'm in England let's say I sleep in nothing but Yardley's lavender.

Nice-to-know:
Catatan yang ditulis Arthur Miller dan membuat Marilyn menangis adalah draft teaternya "After the Fall" yang mengisahkan satu karakter plesetan Monroe.

Cast:
Michelle Williams sebagai Marilyn Monroe
Eddie Redmayne sebagai Colin Clark
Julia Ormond sebagai Vivien Leigh
Kenneth Branagh sebagai Sir Laurence Olivier
Pip Torrens sebagai Sir Kenneth Clark
Geraldine Somerville sebagai Lady Jane Clark
Emma Watson sebagai Lucy

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Simon Curtis yang sebelumnya berpengalaman menyutradarai berbagai mini seri dan serial televisi.

W For Words:
Sosok Marilyn Monroe merupakan bintang film sekaligus simbol seks paling ternama di abad ini yang malangnya harus tutup usia di usia 36 tahun. Pencapaian tertinggi di bidang akting yaitu Academy Awards memang belum diraihnya tetapi satu piala Golden Globe sudah berhasil digenggamnya. Di tahun 2011 lalu Lipsync Productions, BBC Films, UK Film Council, The Weinstein Company, Trademark Films sepakat mengambil sekelumit babak dalam hidup Monroe untuk difilmkan. Guess who's in her shoes? Yes, our lovely Michelle Williams.

Sir Laurence Olivier tengah membuat film di London dengan bintang Marilyn Monroe. Adalah seorang siswa perfilman yang berupaya keras untuk diterima sebagai asisten sutradara tiga, Colin Clark meski lebih bertindak sebagai pesuruh. Nyatanya ketidakprofesionalan sang aktris menghambat jalannya syuting dimana Colin berinisiatif masuk ke dunia pribadi Monroe untuk membantunya secara langsung. Ketenaran, kecantikan dan hasrat pun menjadi satu obsesi yang sulit dipungkiri.

Williams jelas pilihan terbaik untuk memerankan Monroe. Segi postur yang tidak terlalu mirip berhasil ditutupi dengan penjiwaan yang luar biasa sehingga Marilyn versi Michelle tak terkesan impersonifikasi. Salah satu aktris terbaik dari generasi masa kini itu menampilkan lakon dalam lakon dimana kita akan melihat sosok Monroe di dalam dan di luar dunia film. Monroe di tangan Williams glamor dan seksi tapi tidak murahan, rapuh dan misterius tapi tetap loveable.

Branagh sendiri menunjukkan kelasnya sebagai sutradara cranky yang perfeksionis, lihat bagaimana mata dan mulutnya bereaksi tajam jika merasa belum mendapat totalitas yang diharapkan. Pendatang baru Redmayne sebetulnya sudah menampilkan akting cemerlang sebagai pemilik sudut pandang utama dalam film tapi karismanya memang belum mampu menandingi dua nama sebelumnya. Sederetan nama senior yang terlibat sukses melengkapi deretan cast ciamik. Menarik melihat Emma Watson mencoba keluar dari imej Hermione Granger disini.

Rentang waktu seminggu yang tergolong singkat mampu dimaksimalkan oleh sutradara Curtis untuk bertutur. Panggung lawas bergaya Inggris surealis tahun 50an tertata dengan baik dalam menciptakan mood swinging yang diinginkan. Permainan emosi naik turun setiap karakternya terbangun dengan baik sehingga penonton seakan bisa melihat dari kacamata mereka. Keintiman Monroe dan Clark mungkin tidak berjalan seperti yang anda harapkan, lebih ke arah pertukaran afeksi penuh makna lewat kedipan mata, sentuhan atau kecupan.

My Week with Marilyn mungkin belum cukup menggambarkan kiprah Monroe seumur hidupnya secara kaya dan informatif melainkan hanya sebuah eksplorasi periode singkat akan pribadinya yang kompleks itu. Pengalaman sinema yang mengingatkan anda bahwa status selebritis yang kerap diidam-idamkan itu tak lebih dari manusia biasa yang tetap bisa merasakan hampa. Selepas film berakhir, bayangan Monroe tak akan pergi begitu saja dari benak anda, star quality nya yang begitu dominan and we all should be proud of Williams' extraordinary work here.

Durasi:
99 menit

U.S. Box Office:
$14,581,677 till March 2012

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Kamis, 30 Agustus 2012

RUMAH DI SERIBU OMBAK : Pluralisme Persahabatan Tak Berujung

Quotes:
Wahai samudera, aku tak bisa menyimpan ombakmu, kata tepian pada laut.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Winmark Pictures dan diedarkan oleh Tabia Films ini gala premierenya diselenggarakan di Epicentrum XXI pada tanggal 27 Agustus 2012.

Cast:
Risjad Aden sebagai Samihi kecil
Dedey Rusma sebagai Yanik kecil
Bianca Oleen sebagai Syamimi kecil
Lukman Sardi sebagai Aminulah, ayah Samihi
Riman Jayadi sebagai Yanik
Andiana Suri sebagai Syamimi
Andre Julian sebagai Samihi
Jerinx SID sebagai Ngurah Panji

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Erwin Arnada yang sebelumnya berpengalaman sebagai produser dan penulis skenario dimana Tusuk Jelangkung (2002) mengawalinya.

W For Words:
Perjalanan hidup Erwin Arnada bisa dikatakan kontroversial. Mantan pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia ini sempat menjalani masa tahanan pada tahun 2010 dimana ia menghasilkan novel laris yang menuai banyak pujian berjudul Rumah Di 1000 Ombak yang pada akhirnya diangkat ke layar lebar sekitar dua tahun kemudian. Penata skrip handal, Jujur Prananto pun dilibatkan. Pada jajaran cast hanya terdapat satu nama besar yaitu Lukman Sardi di antara para pendatang baru yang terbilang menjanjikan.

Samihi yang beragama Islam berkawan dengan Wayan Manik alias Yanik yang beragama Hindu di Desa Kaliasem, Singaraja. Yanik mengajarkan Samihi bernyanyi sekaligus mengatasi ketakutan akan air karena penyakit asma yang dideritanya. Sebaliknya Samihi juga mendengarkan kisah pahit Yanik akibat kasus pedofilia pria bule bernama Andrew. Kesalahpahaman memisahkan keduanya selama bertahun-tahun. Samihi memilih menetap di Australia meninggalkan adiknya, Syamimi yang bersimpati pada Yanik yang kian terpuruk.

Persahabatan Yanik dan Samihi di masa kecil merupakan kekuatan utama film ini. Detail proses yang mengetengahkan perkenalan sampai kedekatan mereka berjalan wajar lewat momen-momen manis. Latar belakang Singaraja seakan menjadi kekuatan sendiri layaknya panggung pendukung yang sempurna dalam menerjemahkan setiap emosi kedua anak itu. Aspek pluralisme pun turut disertai lewat penggambaran ibadah hingga ritual agama Islam-Hindu yang menghembuskan nafas kerukunan umat beragama yang kuat.

Sayangnya memasuki bagian dimana Yanik dan Samihi beranjak dewasa, segala esensi tersebut tak mampu dipertahankan. Pergantian aktor-aktrisnya terasa miscasting, Andiana Suri terlihat lebih dewasa dibandingkan Riman Jayadi atau Andre Julian. Namun penyebab utama ada di naskah dimana karakter Samihi dibiarkan berlakon sendiri dengan segudang prestasi selancarnya. Sedangkan Yanik dan Syamimi ditinggalkan berdua untuk membangun romansa tanpa jalinan chemistry yang hangat. Bukankah inti kisah ini adalah persahabatan Yanik dan Samihi sejak kecil?

Banyak hal mendasar dibiarkan mengambang tanpa tujuan atau penjelasan. Tidak dibahas apakah sosok pedofil bernama Andrew itu menerima penghakimannya atau tidak. Tidak diperlihatkan adegan eksplisit yang dapat menuntun penonton memahami trauma mendalam pada Yanik. Bagaimana ibu Yanik dapat bertahan hidup selama itu? Atau figur Lukman Sardi yang seakan timbul tenggelam setelah rela membotaki kepalanya itu? Namun yang paling mengganggu adalah keputusan Yanik untuk “melaut” di penghujung film tanpa alasan yang masuk akal justru di saat ia memiliki opsi lain yang lebih baik.

Tanpa mengurangi rasa hormat bagi penggagasnya yang tampak masih mencari bentuk teknis terbaik, Rumah Di Seribu Ombak mungkin sebaiknya ditutup saja tepat setelah satu jam bergulir. Biarlah persahabatan lugu nan majemuk antara Samihi-Yanik-Syamimi kecil terbingkai indah dalam kepolosan dan kesahajaan yang memikat. Tak lantas diteruskan ke dalam mozaik ambigu penuh kejanggalan yang merusak tatanan intisari dan pesan moral yang sedari awal dibebatkan dengan cermat. Bukankah cinta seharusnya menguatkan, bukan melemahkan?

Durasi:
107 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 25 Agustus 2012

THE BOURNE LEGACY : Bourne Experiences With Aaron Cross

Tagline:
There Was Never Just One.

Nice-to-know:
Sebelum kemunculan film ini dipertimbangkan, sutradara Paul Greengrass berkelakar bahwa film Bourne keempat seharusnya berjudul "The Bourne Redundancy".

Cast:
Jeremy Renner sebagai Aaron Cross
Rachel Weisz sebagai Dr. Marta Shearing
Scott Glenn sebagai Ezra Kramer
Stacy Keach sebagai Retired Adm. Mark Turso, USN
Edward Norton sebagai Retired Col. Eric Byer, USAF
Donna Murphy sebagai Dita Mandy

Director:
Merupakan film ketiga bagi Tony Gilroy setelah Duplicity (2009).

W For Words:
Keputusan Universal Pictures untuk meneruskan franchise Bourne bisa jadi didasari oleh uang. Bagaimana tidak? Ketiga serinya yaitu The Bourne Identity (2002), The Bourne Supremacy (2004) dan The Bourne Ultimatum (2007) telah menghasilkan lebih dari 500 juta dollar untuk peredaran di Amerika Serikat saja, belum internasional. Namun para fans menjadi skeptis begitu mengetahui fakta bahwa Paul Greengrass dan Matt Damon yang sedianya terlibat dalam proyek ini ternyata menarik diri. Lantas apa yang tersisa?

Aksi Jason Bourne terhadap Operasi Blackbriar membuat CIA yang dipimpin pensiunan Kolonel Eric Byer menutup semua program operasi hitam termasuk Treadstone. Untuk itu semua agen dan staf pendukung harus dibinasakan oleh virus yang terkandung dalam pil baru. Adalah Aaron Cross yang tengah bertugas di lapangan berhasil lolos dari maut. Demi kelangsungan hidup yang didapat dari pil hijau dan biru, ia terpaksa menyelamatkan ahli kimia, Dr. Marta Shearingz dan bersama-sama melarikan diri ke Manila.














Tony dan Dan Gilroy yang menulis skripnya masih berupaya mengambil referensi dari kreator Bourne asli yakni Robert Ludlum. Itulah sebabnya wajah dan aksi Jason Bourne, Pamela Landy dan Dr. Albert Hirsch masih dihadirkan sekilas sebagai konektivitas. Namun setting utama plot tetap ada pada proses pengejaran tokoh-tokoh utamanya, baik hidup atau mati. Tambahan berbagai subplot pendukung yang sedikit rumit tapi terbilang mudah dicerna ini tampak berusaha memperkuat bangunan cerita yang penuh karakter lalu lalang.

Jeremy Renner mungkin tak dapat menyaingi karisma Matt Damon tapi ia sama tangkasnya dalam beraksi, menghindari bahaya atau melumpuhkan musuh dengan efisien demi memuaskan penonton. Rachel Weisz juga tampil meyakinkan sebagai heroine yang pandai menyembunyikan emosi dalam menjalankan misinya. Sayang aktor sekelas Edward Norton "cuma" kebagian akting berbicara memberikan instruksi sambil duduk atau berdiri untuk peran antagonis sekuat ini.

Sutradara Gilroy berhasil menjaga tempo film, kapan harus cepat, kapan harus melambat lewat serentetan aksi "nyata" minim CGI ala blockbuster Hollywood. Durasi 135 menit tak akan terlalu dirasakan mengingat setiap adegannya memiliki arti. Bagaimana Aaron Cross bertarung tangan kosong secara keras atau mengendarai motor secara brutal akan membuat anda menahan nafas. Pemanfaatan beberapa lokasi variatif juga memberikan nilai tambah sendiri, termasuk adegan pembuka yang memperlihatkan lanskap pegunungan bersalju.

The Bourne Legacy memang tak dapat dibandingkan dengan trilogy Jason Bourne sebelumnya meski masih melibatkan konspirasi Pemerintahan yang kompleks. 30 menit terakhir yang penuh energi dijamin akan memacu adrenalin anda terlepas dari logika yang sedikit terabaikan mengenai apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Installment baru ini sukses membangun animo untuk kelanjutan serinya yang pantas ditunggu. Mungkinkah suatu saat Aaron Cross akan berhadapan langsung dengan Jason Bourne? One thing for sure, Renner looks tougher and he's going rogue in a very good way.

Durasi:
135 menit

U.S. Box Office:
$69,618,465 till August 2012

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Rabu, 22 Agustus 2012

IRON SKY : Uninspiring Cool New NAZI Approach

Quote:
Renate Richter: The world is sick. And we are the doctors.

Nice-to-know:
Lebih dari 10 persen pendanaan film ini datang dari fans. Nama para pendonor kemudian disertakan dalam credits.

Cast:
Julia Dietze sebagai Renate Richter
Peta Sergeant sebagai Vivian Wagner
Udo Kier sebagai Wolfgang Kortzfleisch
Götz Otto sebagai Klaus Adler
Kym Jackson sebagai McLennan
Stephanie Paul sebagai President of the United States
Christopher Kirby sebagai James Washington

Director:
Merupakan feature film pertama bagi Timo Vuorensola setelah film pendek Norjalainen huora (1998).

W For Words:
Kekejaman NAZI telah menjadi momok tersendiri bagi siapapun yang mendengarnya. Kita tidak akan pernah melihatnya karena terjadi puluhan tahun silam terkecuali di dalam film. Khusus yang satu ini mungkin tak sesuai bayangan anda mengingat genre komedi satir yang diusungnya. Is it really a good idea? You can only judge. Namun sebuah film produksi patungan Finlandia, Jerman dan Australia tentunya memberikan warna tersendiri yang jauh berbeda dari produksi Hollywood atau negara-negara Eropa lainnya.

Tahun 2018, Presiden Amerika yang baru terpilih mengirim dua orang astronot ke bulan tanpa menyadari area tersebut sudah menjadi pangkalan rahasia NAZI yang dipimpin Fuhrer Wolfgang Kortzfleisch. Satu terbunuh sedangkan yang lain, James Washington yang berkulit hitam disiksa oleh Klaus Adler sekaligus dijadikan model uji coba oleh Dokter Richter. Bantuan amat diharapkan dari tunangan Adler, Renate yang sebetulnya berasal dari Bumi. Sayang rencana yang tersusun matang harus dihancurkan oleh orang kepercayaan Presiden yang memiliki tujuannya sendiri.

Sutradara debutan Vuorensola jelas bukanlah Roland Emmerich atau Paul Verhoeven yang sudah berpengalaman menggarap sains fiksi angkasa luar dalam balutan komedi satir yang kental. Selain itu skrip yang dikerjakan oleh Michael Kalesniko dari ide cerita Johanna Sinisalo dan Jarmo Puskala memang masih menyimpan banyak kelemahan layaknya film kelas B dengan setting antah berantah. Sederetan adegan slapstick di sepanjang film terkesan memaksa penonton tertawa untuk kemudian bingung mengapa mereka melakukan itu.

Satu-satunya yang patut dibanggakan adalah efek CGI yang efektif mendukung storytelling. Detail arsitektur luar angkasa yang memikat ditunjang dengan interior-eksterior kapal armada NAZI yang mengagumkan padahal bujet produksinya terbilang rendah. Kontribusi tidak sedikit juga diberikan para castnya yang setidaknya berakting komikal secara believable dalam kostum dan make-up yang ciamik terutama Kier dan Dietze.

Bagi saya, Iron Sky sesungguhnya memiliki premis bodoh yang menjual tapi tak dilandasi oleh eksekusi cerdas yang memadai. Tak lupa menyebut unsur rasisme frekuentif yang cukup mengganggu. Film ini jauh lebih baik bertutur saat masih berada di bulan, sebelum kehilangan daya tariknya ketika mendarat di bumi. Sempilan pesan moral di akhir cerita sedikit menghancurkan unsur fun dan cheesy yang sejak semula dibangunnya. Well, at least it's trying to be a different movie, cool NAZI approach with a lot of admirable production designs. Nothing more!

Durasi:
93 menit

Europe Box Office:
€96,272 in Austria till April 2012

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:


Notes:

Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Minggu, 19 Agustus 2012

THE EXPENDABLES 2 : When Old Guns Are Having Fun

Quote:
Trench: I'll be back. 
Church: You've been back enough. I'll be back.  

Nice-to-know:
Seorang stuntman meninggal dan lainnya dalam kondisi kritis ketika kru tengah syuting di Bulgaria yang melibatkan ledakan perahu karet.

Cast:
Sylvester Stallone sebagai Barney Ross
Jason Statham sebagai Lee Christmas
Jet Li sebagai Yin Yang
Dolph Lundgren sebagai Gunner Jensen
Chuck Norris sebagai Booker
Jean-Claude Van Damme sebagai Villain
Bruce Willis sebagai Church
Arnold Schwarzenegger sebagai Trench
Terry Crews sebagai Hale Caesar
Randy Couture sebagai Toll Road
Liam Hemsworth sebagai Bill The Kid
Scott Adkins sebagai Hector
Nan Yu sebagai Maggie 

Director:
Merupakan feature film kesembilan bagi Simon West setelah The Mechanic (2011) yang juga didukung oleh Jason Statham.

W For Words:
Film aksi seru yang tidak membutuhkan nalar khusus dalam mencerna jalan ceritanya merupakan prospek potensial bagi industri perfilman untuk menjaring penonton awam membayar tiket dan bersenang-senang selama lebih kurang dua jam. Hollywood (Millennium Films dan Nu Image Films) jelas tak lupa gagasan itu ketika memutuskan memproduksi The Expendables (2010) yang sukses secara komersil itu. Tidak heran jika dua tahun kemudian muncul sekuelnya dengan jajaran pendukung gaek yang masih tegak berdiri.

Karena kekacauan terdahulu yang disebabkan Barney dkk, utusan CIA bertitel Church memberi tugas "wajib" mengawal Maggie dalam menemukan "MacGuffin" yang dapat membahayakan dunia jika jatuh di tangan pihak yang salah. Malangnya, mereka keduluan sekelompok penjahat keji yang dipimpin oleh Villain, bahkan kehilangan salah satu anggotanya yaitu Billy The Kid. Pengejaran berlanjut ke Eropa Timur dimana Barney dkk bertekad membalas dendam sekaligus menuntaskan misi berdarah yang telah dimulai.

Jika Stallone sudah menetapkan "standar" lewat penyutradaraan prekuelnya maka Simon West yang lebih berpengalaman seharusnya mampu membawa film ini ke level yang lebih tinggi. Menilik premisnya yang menjanjikan lebih banyak aksi, darah dan kekerasan, bisa jadi anda setuju setelah credit title bergulir. Namun akting buruk, plot setengah matang hingga editing manipulatif tetap tak dapat dihindari. Untungnya berbagai dialog one-liner cheesy dan spontanitas momen komedik masih mampu membangkitkan senyum dan tawa.

Keterlibatan Liam Hemsworth disini patut dipertanyakan, apakah hanya ingin menarik penonton lebih muda yang ingin melihat idola mereka ditumbalkan setelah memainkan unsur dramatis di pembuka film? Sama halnya dengan Jet Li yang tampil sekilas tentunya akan mengecewakan kubu penonton Asia. Namun setidaknya pendatang baru berwajah oriental, Nan Yu memberikan warna tersendiri sebagai satu-satunya wanita sekaligus tokoh kunci yang ternyata tangguh dan jago beladiri.

Adu otot dan tubuh prima antara Stallone dan Van Damme jelas dominan, mereka bahkan saling berhadapan pada final combat yang ditunggu-tunggu itu. Willis dengan gaya perlentenya yang memang tidak sampai terlibat pertarungan tapi hilarious moment nya bersama Schwarzenegger dalam parodi Terminator tak akan terlupakan begitu saja. Lundgren masih dengan kelambanannya, kontras jika dibandingkan Statham dengan kesigapannya. Jangan lupakan old dog, Norris yang entah apa fungsinya kali ini. 

The Expendables 2 jelas bukan konsumsi anak-anak karena banyaknya adegan berdarah karena tertembak atau potongan tubuh berhamburan karena ledakan. Ini adalah tontonan kaum lelaki yang menjual maskulinitas layaknya permainan video game dengan misi berbahaya yang diterima dan balas dendam yang harus dituntaskan. Reuni bintang-bintang lawas tahun 80-90an yang sangat mahir dalam genre ini merupakan nilai jual utama meskipun sedikit bergaya parodi. These old guns are definitely just having fun on screen, playing hard without taking stratches!

Durasi:
103 menit

U.S. Box Office:
$28,591,370 till August 2012

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Sabtu, 18 Agustus 2012

STEP UP : REVOLUTION Mob Your Way and Get Dance

Tagline:
One step can change your world.

Nice-to-know:
Adam G. Sevani sebagai Moose, Mari Koda sebagai Jenny Kido, Chadd Smith sebagai Vladd dari seri sebelumnya tampil sebagai cameo dengan dansa masing-masing disini

Cast:
Ryan Guzman sebagai Sean
Kathryn McCormick sebagai Emily Anderson
Peter Gallagher sebagai Mr. Anderson
Cleopatra Coleman sebagai Penelope
Misha Gabriel Hamilton sebagai Eddy
Stephen Boss sebagai Jason
Tommy Dewey sebagai Trip

Director:
Merupakan feature film keempat bagi Scott Speer setelah 2011 The LXD: The Secrets of the Ra (2011).

W For Words:
Maraknya film bertemakan seni tari masa kini bisa jadi salah satunya dipelopori oleh Step Up (2006). Channing Tatum dan Jenna Dewan (yang dinikahinya tiga tahun kemudian) setidaknya telah meletakkan pondasi kuat bagi para fans genre ini sehingga seri nya dapat muncul setiap dua tahun sekali dengan tetap menjaga kualitasnya. Setelah Anne Fletcher dan Jon M. Chu duduk di kursi sutradara, kini giliran Scott Speer yang diharapkan mampu meneruskan tongkat estafet tersebut di tahun 2012. Sub judul awal Miami Heat pun berganti menjadi Revolution.

Emily tiba di Miami dengan cita-cita menjadi penari pro walau bertentangan dengan keinginan ayahnya yang juga pebisnis properti ulung, Bill Anderson. Sementara itu Sean bersama Eddy dan kawanan penari yang menamakan diri The Mob bertekad memenangkan kompetisi Youtube berhadiah 100 ribu dollar jika video yang mereka syut di tempat-tempat umum bisa ditonton 10 juta orang. Perjumpaan Emily dan Sean yang diikuti dengan perasaan ketertarikan ternyata tak berjalan mulus menilik ambisi pribadi dan latar belakang keluarga masing-masing.

Jika dalam seri sebelumnya, aroma kompetisi dihidangkan sebagai menu utama maka skenario garapan Amanda Brody berdasarkan karakterisasi milik Duane Adler ini lebih menekankan pada ekspresi diri dan suara hati tokoh-tokoh utamanya. Untuk itulah Sean dan Emily ditempatkan pada dua kubu yang berbeda mulai dari pola pikir, gaya hidup hingga jalur tari yang dipilih. Beberapa anggota The Mob sendiri sempat diperkenalkan secara personal demi memperkaya keragaman seperti Penelope, Jason, Mercury dsb.

Berbagai koreografi "flash mobs" diperagakan dengan atraktif di banyak lokasi yang tidak semestinya yaitu jalan raya, museum, restoran, gedung perkantoran yang akan mengundang decak kagum. Which one is your favorite? Most of you must answer museum like i do. Serentetan dansa pamungkas yang vibrant itu sukses menutup film meski agak dirusak dengan quick cut style dan flashy editing dari sutradara Speer yang seakan membuat penari-penari tersebut tidak cukup capable dalam mempertunjukkan atraksi mereka.

Jangan bandingkan dengan Dirty Dancing (1987) yang legendaris itu walaupun benang merahnya serupa yaitu gadis kaya yang ingin menari jatuh cinta pada pemuda flamboyan tanpa restu ayahnya. Guzman yang ahli beladiri plus model dan McCormick yang juga kontestan So You Think You Can Dance ini memang pantas disandingkan bersama karena daya pikat wajah dan tubuh yang tak terbantahkan dengan sedikit mengesampingkan kemampuan akting mereka. Maklumilah dialog-dialog yang sering terdengar cheesy di tengah subplot yang terus bermunculan.

Tak perlu memusingkan plot cerita yang dikandungnya, cukup nikmati sajian dansa kreatif dari para penari ahli di atas panggung Miami, Florida. Tak lupa suguhan soundtrack dinamis dari artis-artis macam Justin Bieber, M.I.A, Ne-Yo, Pitbull, J.Lo, Travis Barker, Timbaland, Skylar Grey dsb semakin menyempurnakan fantasi panca indera anda. Step Up : Revolution menjadi menu alternatif yang amat menyenangkan sebagai penutup summer movies tahun ini. Fall in love with The Mob and get inspired to become one of 'em! Remember not to lose your voice and moves in life.

Durasi:
99 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can't be below 6
6-poor

6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good

9-excellent

Jumat, 17 Agustus 2012

EK THA TIGER : Stunning Look But Didn’t Leaping High


Quotes:
Manish: Apa yang akan terjadi pada kita selanjutnya setelah musik ini berakhir ada di tanganmu, Zoya. 

Nice-to-know:
Film yang rencananya akan dibuat sekuel ini rilis di India pada tanggal 15 Agustus 2012 yang lalu.

Cast:
Salman Khan sebagai Tiger / Manish
Katrina Kaif sebagai Zoya
Ranvir Shorey sebagai Gopi 
Roshan Seth sebagai Prof Kidwai

Director:
Merupakan film keempat bagi Kabir Khan setelah New York (2009).

W For Words:
Kesuksesan Wanted (2009), Dabangg (2010) dan Bodyguard (2011) berbicara banyak dalam tangga box office India yaitu mendatangkan Rs100 crore dalam waktu singkat selama pemutarannya tentu masih membuat para produser percaya akan kharisma seorang Salman Khan. Yash Raj Films dan juga sutradara sekaligus penulis skrip Kabir Khan kali ini memasangkannya dengan Katrina Kaif dalam spy drama thriller yang (tanpa bermaksud spoiler) harus diakui memiliki banyak kemiripan plot dengan Mr. & Mrs. Smith (2005) yang dibintangi oleh Brad Pitt dan Angelina Jolie.

Profesor Kidwai dari Trinity College dicurigai menjual rahasia teknologi misil ke Pakistan. Untuk itu Pemerintah India melalui RAW menitahkan agen terpercayanya Tiger untuk mengawasi dan mengorek informasi. Dalam prosesnya, Tiger yang menggunakan nama Manish malah berjumpa dengan penjaga Profesor yang juga murid akademi dansa fiksi, Zoya alias Zee. Keduanya lantas sepakat berkencan. Keadaan semakin runyam saat identitas asli Zoya yang ternyata agen ISI yang menyamar terbongkar. Pilihan untuk terus atau berhenti ada di tangan mereka.

Sutradara Kabir tahu betul bagaimana memaksimalkan setting lokasi perjalanan yang meliputi Dublin, Istanbul, Kazakhstan dan Chile sebagai panggung indah yang memanjakan mata. Koreografi aksi yang disuguhkan terbilang meyakinkan meski penggunaan beberapa stuntman/stuntwoman cukup kentara jika dicermati dengan teliti. Adegan kejar-kejaran ala cat and mouse juga tersaji menarik dalam tempo cepat. Kolaborasi komposer Sohail Sen dan Sajid-Wajid mampu menempatkan beberapa lagu ear-catchy secara pas ke dalam bangunan cerita yang disuguhkan.

Konflik asmara agen India dan mata-mata Pakistan yang saling jatuh hati memang terbilang sebuah premis baru walaupun dalam eksekusinya tak terasa asing. Mungkin anda yang berasal dari dua negara tersebut lebih paham aturan adat yang telah berlaku ratusan tahun sebelumnya. Salman tak sampai memamerkan otot-ototnya seperti biasa, melainkan tampil dalam busana uber-cool yang sangat ‘urban’ sehingga tidak menutupi porsi aktingnya yang dominan disini. Katrina yang fresh dan cantik memperlihatkan penampilan penuh percaya diri. Chemistry keduanya sebagai pasangan terbilang kuat sekaligus menjawab santernya desas-desus yang menyebutkan mereka adalah pasangan di dunia nyata.

Ek Tha Tiger nyatanya lebih merupakan sebuah drama percintaan dalam balutan nuansa thriller. Klise dan sedikit membosankan. Kelemahan yang paling jelas adalah logika latar belakang politik yang melingkupinya hingga menyisakan banyak lubang tak tertutup di akhir cerita. Nilai minus yang pada akhirnya juga mempengaruhi kekuatan karakterisasi tokoh-tokohnya yang seakan cuma mengenal dua nama saja selama lebih dari dua jam. Profesor Kidwai dan Gopi yang lantas menghilang pun tak akan terlalu anda sadari karena terlalu fokus pada kebintangan Khan dan Kaif yang sibuk bergalau ria. Heroism or realism, you decide! One thing for sure, Tiger looked stunning but didn’t leap too high.

Durasi:
133 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
 

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Kamis, 16 Agustus 2012

TANAH SURGA KATANYA : Sentilan Nasionalisme Godaan Perbatasan

Quotes:
Dokter Intel: Jadi lagi nasional yang kamu tau apa?
Salman: Kolam susu.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh oleh PT Demi Gisela Citra Sinema dan Brajamusti Films ini gala premierenya diselenggarakan di Epicentrum XXI pada tanggal 11 Agustus 2012.

Cast:
Osa Aji Santoso sebagai Salman
Fuad Idris sebagai Hasyim
Ence Bagus sebagai Haris
Astri Nurdin sebagai Astuti
Tissa Biani Azzahra sebagai Salina
Ringgo Agus Rahman sebagai Dokter Anwar
Muhammad Rizky sebagai Lized
Deddy Mizwar
Gatot Brajamusti

Director:
Merupakan film kedua Herwin Novianto setelah Jagad X Code (2009).

W For Words:
Deddy Mizwar adalah satu dari sedikit insan senior perfilman nasional yang masih aktif berkarya. Tak hanya sebagai aktor tetapi juga penulis skrip, sutradara hingga produser. Pria yang kini berusia 57 tahun ini terkenal dengan gaya satirnya yang lembut menyentil, tanpa terkecuali skenario garapan Danial Rifki dimana bangku sutradara dipercayakan kepada Herwin Novianto. Premisnya sendiri konon diinspirasi dari lagu lawas tenar milik Koes Plus yang berjudul Kolam Susu. Masih ingat? Jika tidak, film ini akan mengingatkan anda.

Mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia 1965, Hasyim tinggal bersama putra satu-satunya, Haris yang telah memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan, Salman dan Salina. Keadaan yang kurang baik di Kalimantan Barat membuat Haris hijrah ke Malaysia dengan membawa Salina. Sedangkan Salman menjaga kakeknya yang sakit-sakitan itu sambil terus belajar pada guru pengganti, Astuti. Titik cerah muncul saat dokter Anwar datang ke desa dengan segala keterbatasan sarana dan obat. Benarkah Indonesia tak lagi layak ditinggali?

















Nasionalisme adalah unsur yang rajin didengungkan dalam film ini. Bukan hanya dari kacamata mantan pejuang lanjut usia tapi juga bocah optimis yang serba kekurangan. Bagaimana Haris menolak dibawa berobat ke Malaysia atau Salman menukar bendera merah putih yang digunakan sebagai kain pembungkus. Mereka adalah contoh manusia-manusia yang lebih memilih hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang. Sepadankah pengorbanan itu dengan balas jasa yang didapat? Jawabannya tentu relatif.

Acungan jempol pantas dilayangkan bagi segenap pendukung film ini yang mampu tampil maksimal. Ringgo yang kocak memberikan aksen tersendiri sebagai dokter kikuk atau Astri yang lemah lembut sebagai pengajar santun. Keduanya terasa mampu menjembatani anak-anak dengan konflik dewasa yang tak dapat begitu saja dipahami. Kekerasan hati Fuad Idris amat bertolak belakang dengan Ence Bagus yang terkesan mudah dibeli.
 Akting natural Osa Aji tak jarang menghadirkan perasaan haru atau trenyuh dalam diri penonton melihatnya.

Saya akan sedikit membantu Deddy Mizwar berpromosi disini dengan menyebut sosis So Nice, Entrostop atau Promag yang untungnya "muncul" di film dalam batas kewajaran. Isu pendidikan, kesehatan, penghidupan antar Indonesia dan Malaysia dihadirkan secara kontras. Adegan dini hari dimana perahu motor membelah sungai Kapuas ketika matahari masih bersembunyi amatlah memorable bagi saya, kombinasi perjuangan dan kepiluan yang membuncah.

Tanah Surga.. Katanya adalah film lokal pengisi libur Lebaran terbaik tahun ini. Kesahajaan tema yang dieksekusi secara terarah. Perbedaan kualitas kehidupan masyarakat di Sarawak dan Kalimantan Barat memang bukan untuk disesali tapi untuk dipelajari, terutama oleh pihak-pihak penguasa yang berkepentingan. Maafkanlah ambiguitas yang terkandung di endingnya dalam upaya menutup setiap subplot yang dibangun sejak awal. Deddy Mizwar dkk sudah memberi contoh konkret lewat media film bahwa "apapun yang terjadi, jangan sampai kehilangan cinta terhadap negeri ini".

Durasi:
90 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:


Rabu, 15 Agustus 2012

CINTA SUCI ZAHRANA : Proses Pemenuhan Kodrat Wanita Sesungguhnya

Quotes:
Zahrana: Rana ikhlas menuruti kemauan bapak tapi tidak dengan mengorbankan hati nurani.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh SinemArt Pictures ini gala premierenya diadakan di Gandaria XXI pada tanggal 7 Agustus 2012.

Cast:
Meyda Sefira sebagai Zahrana
Miller Khan sebagai Hasan
Kholidi Asadil Alam sebagai Rachmad
Amoroso Katamsi sebagai Pak Munajat
Nena Rosier sebagai Ibu Munajat
El Manik sebagai KH Amir Shadiq
Rahman Yacob sebagai Sukarman


Director:
Merupakan film ke-24 bagi Chaerul Umam setelah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih (2009).

W For Words:
Masih ingat dengan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih (2009) yang fenomenal menurut raihan jumlah penonton dan strategi promosi yang menghebohkan itu? Diam-diam sang sutradara senior, Chaerul Umam menyiapkan drama religi terbaru yang lagi-lagi diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama milik Habiburahman El-Shirazy. Perbedaan mendasar hanyalah ada pada tokoh utama, dari pria menjadi wanita. Sedangkan konflik utamanya masih sama yaitu seputar pencarian jodoh terbaik dari sudut pandang seorang muslim/muslimah berpendidikan tinggi.

Beragam penghargaan atas kecerdasan Siti Zahrana tak lantas membuat kedua orangtuanya bangga. Masalah utama adalah ia masih melajang di usia 34 tahun sedangkan ayahnya Pak Munajat didiagnosa tak akan berumur panjang karena penyakit jantung yang dideritanya. Rana bahkan sempat mempertimbangkan lamaran dekannya sendiri, Sukarman yang mata keranjang tapi memilih mundur dan berkarya di sebuah pondok pesantren kecil. Kedatangan Hasan yang meminta bimbingan skripsi dan Rachman yang dijodohkan oleh Pak Kyai membuat Rana harus memutuskan pria mana yang dipilih hatinya.


Tak sulit menebak alur cerita hasil transkripsi almarhum Misbach Yusa Biran ini. Introduksi terhadap tokoh Zahrana dimulai dari penggambaran prestasi dan dedikasinya di bidang pendidikan sebelum bergeser ke lingkungan keluarga dan teman-temannya. Proses pencarian jodoh pun bertahap mulai dari yang terburuk hingga terbaik. "Save the best for last" mungkin kalimat yang tepat untuk menjabarkannya. Tentu anda semua (diasumsikan) akan memihak Zahrana sejak menit pertama bergulir walau harus memaafkan dialog-dialog klise nan polos dari mulutnya.

Meyda Sefira yang mengenakan jilbab sepintas mengingatkan saya pada sosok Paramitha Rusady. Akting dominannya di sepanjang film dapat dikatakan memenuhi standar. Keteguhannya memegang prinsip dan menjunjung tinggi ajaran Islami patut diacungi jempol lewat tutur kata lembut yang ditunjang perangai soleh. Sayangnya Miller dan Kholidi tak cukup mendapatkan "frame" untuk benar-benar beradu akting dengannya. Penokohan Rachman sebagai antagonis memang disengaja walau terkadang tingkah laku "negatif"nya terasa berlebihan.

Cinta Suci Zahrana adalah perjalanan hidup seorang muslimah yang tabah menghadapi cobaan demi mendapatkan cinta terbaik yang diridhoi Allah. Prosesnya memang belum sempurna karena masih mengikuti pakem FTV atau sinetron yang marak menghiasi layar kaca menjelang Lebaran. Meski demikian, anda mungkin dapat mengapresiasinya dengan toleransi disana-sini karena itikad baik sebagai hiburan dan pembelajaran tradisional dimana kodrat wanita sesungguhnya di mata masyarakat adalah menikah dan berumah tangga, bukan berprestasi dan berkarir setinggi-tingginya.


Durasi:
108 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 14 Agustus 2012

BRANDAL-BRANDAL CILIWUNG : Mengalir Datar Tanpa Kepolosan Anak-anak

Quotes:
Kalo solider dalam kebaikan bagus, kejahatan jangan..

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Maxima Pictures ini gala premierenya dilangsungkan di Setiabudi 21 pada tanggal 8 Agustus 2012.

Cast:
Endy Arfian sebagai Jaka
Gritte Agatha sebagai Sissy
Julian Liberty sebagai Timur
Sehan Zack sebagai Umar
Aldy Rialdy Indrawan sebagai Tirto
M Syafikar sebagai Raja
Idrus Madani sebagai Wak Haji
Ira Wibowo sebagai Ibu Jaka
Hengky Solaiman sebagai Babah Alun

Director:
Merupakan film keenam bagi Guntur Soeharjanto setelah Purple Love (2011).



W For Words:
Satu-satunya film lokal yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak dan keluarga pada libur Lebaran 2012 ini adalah hasil adaptasi novel lawas tahun 1973 karya Achmad S. Sederetan bintang cilik yang bermain disini memang belum lahir pada jaman itu tetapi keseriusan usaha mereka dalam menokohkan “Pandawa Lima” versi cilik tetap patut diapresiasi. Premis pluralisme tersebut lantas dipercayakan rumah produksi Maxima Pictures kepada sutradara Guntur Soeharjanto yang mengemasnya lewat tontonan selama nyaris dua jam.

Jaka, Umar, Raja, Timur dan Tirta tinggal di pinggir kali Ciliwung sehingga menamakan diri Pasukan Ciliwung. Meski berasal dari suku yang berbeda-beda, mereka selalu kompak belajar dan bermain. Ancaman satu-satunya datang dari Adam dkk yang kerapkali menantang kelimanya dalam permainan apapun. Kekompakan mulai terancam ketika cucu Babah Alun yang juga pemilik pabrik tahu di kampung, Sissy tiba di Ciliwung. Gadis tomboy yang berbakat itu menarik perhatian Jaka dkk yang menjadi salah paham satu sama lain tepat di saat lomba gethek Ciliwung akan berlangsung.

Menit-menit pertama film ini sudah kontradiktif dengan apa yang ada di kepala saya. Bayangan kehidupan sederhana (bukan sengsara) yang terjadi di pinggir kali Ciliwung sirna begitu melihat penampilan Jaka, Timur, Umar, Tirto, Raja yang masih cukup ‘wah’ apalagi dengan gaya bicara dan bahasa mereka yang sangat terkesan dewasa. Hal tersebut diperburuk oleh konflik yang juga klise dan tidak berhasil mencapai klimaks seperti cinta segitiga (?) dan persaingan antar geng. Skrip milik Alim Sudio tampak kedodoran dalam menerjemahkan esensi novel yang seharusnya penuh substansi itu.

Sutradara Guntur tampak telah mengerahkan segenap upayanya untuk merangkai benang merah cerita yang sering keluar jalur itu. Sayangnya terlalu banyak adegan yang ‘terputus’ dan sekuens yang ‘tak terselesaikan’ untuk dicover satu-persatu. Opening film penuh semangat yang menjanjikan itu gagal dipertahankan sehingga antusiasme penonton perlahan-lahan mulai merosot. Ending yang seharusnya menggigit lewat Festival Getek Ciliwung pun seakan menjadi tempelan belaka karena tersaji tanpa prosesi ujung pangkal yang jelas.














Unsur edukasi yang ingin disampaikan memang masih ada. Persahabatan Pasukan Ciliwung yang tak mengenal SARA atau kegiatan mereka membersihkan kali Ciliwung dari sampah adalah bukti konkret. Inilah nilai jual Brandal-Brandal Ciliwung yang setidaknya masih mengalir lancar dalam bercerita layaknya aliran sungai. Alangkah baiknya jika beberapa poin potensial yang ada bisa dimaksimalkan demi mengembalikan kepolosan dan kesahajaan film anak-anak lokal tanpa harus berkesan menggurui yang sepertinya sudah semakin berlabuh jauh dari pakemnya itu.

Durasi:
111 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Senin, 13 Agustus 2012

THE FOUR : Missed Opportunity Potential Asian Superheroes

Quote:
Zhuge Zhengwo: Bagi sebagian besar wanita, tak ada wanita yang baik di dunia ini.

Nice-to-know:
Sudah rilis di China pada tanggal 12 Juli 2012 yang lalu.

Cast:
Ronald Cheng sebagai Life Snatcher
Collin Chou sebagai Iron Hand
Chao Deng sebagai Cold Blood
Crystal Liu Yifei sebagai Emotionless
Sheren Tang
Anthony Wong Chau-Sang sebagai Zhuge Zhengwo
Cheng Tai Shen sebagai Sheriff King
Wu Xiubo sebagai An Shigeng

Director:
Merupakan film ke-30 bagi Gordon Chan setelah terakhir Mural (2011).

W For Words:
Woon Swee Oan yang berkebangsaan Malaysia telah menuai sukses lewat novel yang mengisahkan kiprah empat detektif ulung dalam memecahkan kasus di China masa lampau. Kini adaptasi layar lebar yang ditangani oleh Gordon Chan ini merupakan salah satu film Mandarin paling ditunggu untuk medio 2012. Beruntung publik Indonesia dapat menikmatinya tepat satu bulan setelah tanggal edar di negara asalnya.

Pada jaman Pemerintahan Dinasti Song terdapat The Six Gate Constabulary pimpinan Sheriff King yang beranggotakan pengawal resmi dan The Divine Constabulary pimpinan Zhuge Zhengwo yang beranggotakan rakyat berkemampuan khusus. Saat terjadi kasus peredaran uang palsu, Zhengwo mengutus Iron Fist, Emotionless, Life Snatcher untuk mengusutnya. Ternyata akar kejahatan yang lebih besar justru sedang dirancang oleh An Shigeng yang bertekad membangkitkan pasukan zombie untuk mengambil alih kedudukan raja.

Mungkin butuh waktu lama bagi anda untuk benar-benar terintrusi ke dalam storytelling film wuxia ini. Setengah durasi pertama bahkan dihabiskan untuk pengenalan karakter yang bejibun itu, termasuk pembahasan konflik-konflik dasar yang sebetulnya tak terlalu krusial. Contoh perasaan terpendam Cold Blood terhadap Emotionless atau aura persaingan Zhengwo dan King dalam merebut simpati raja. Sebenarnya sah-sah saja karena bumbu macam itu memang dibutuhkan untuk memanusiawikan tokoh-tokohnya asal tidak berlebihan.

Production design yang terlihat apik mulai dari wardrobe, make-up hingga setting lokasi 80an ala Hongkong terasa mubazir dengan kemiskinan skrip dan eksekusi Gordon yang tidak spesial padahal jam terbangnya terbilang tinggi. Fokusnya pun terasa blur, apakah drama, thriller, fantasy atau martial arts? Jika dianalogikan sebagai mixed-up genres dengan kepadatan subplot disana-sini maka hasilnya bisa diduga, tidak banyak esensi yang berhasil digelorakan pada penonton di sepanjang durasinya.

The Four dapat kita kategorikan sebagai X-Men versi Asia dimana anda dapat temui "mutan" yang dapat berubah bentuk, membaca pikiran, menggerakkan barang-barang, mentransfer panas/dingin dsb. Jajaran cast yang sebagian besar berasal dari daratan China terbilang berhasil menyuguhkan akting yang menarik terutama Anthony yang minim screen presence atau Collin yang berdarah dingin tersebut. Kabar baik (atau buruk) nya, Enlight Pictures sudah sepakat mengembangkan trilogy dimana saat ini Part 2 sedang dalam tahap pengerjaan. We might hope for a better execution and subtle storyline to get more into this potent Mandarin franchise.

Durasi:
118 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
  

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Minggu, 12 Agustus 2012

BEHIND THE WALLS : Hallucinating Truth You Can Escape

Original title:
Derriers les murs.

Nice-to-know:
Film live-action Perancis pertama yang disyut dengan kamera 3D.

Cast:
Laetitia Casta sebagai Suzanne
Thierry Neuvic sebagai Philippe
Jacques Bonnaffé sebagai Paul

Roger Dumas sebagai Père Francis
Anne Benoît sebagai Catherine Luciac
Anne Loiret sebagai Yvonne

Director:
Merupakan feature film pertama bagi duet Julien Lacombe dan Pascal Sid yang sebelumnya sudah bekerjasama dalam 5 film pendek sejak tahun 2001.

W For Words:
Film Perancis berbujet €3,700,000 ini sudah beredar di negara asalnya pada tanggal 6 Juli 2011 yang lalu. Duet Julien Lacombe dan Pascal Sid bukan hanya menulis skrip tapi juga menyutradarai langsung film yang mengandalkan nama besar model cantik yang terjun menjadi aktris, Laetitia Casta. Genre drama misteri horor sudah tidak asing lagi meski pendekatannya jelas berbeda dengan yang sudah-sudah dimana unsur psikologi juga dimasukkan disini.

Tahun 1922, Suzanne menyendiri di sebuah desa terpencil demi menulis tuntas novel terbarunya. Sayangnya rasa bersalah karena kematian putrinya akibat penyakit di masa lampau kerap membuat Suzanne terjaga di malam hari. Turut berhubungan dengannya adalah Paul - penjaga toko beristri yang terobsesi padanya, Philippe - pemuda lokal yang disukainya, Valentine - gadis kecil yang mengingatkan akan putrinya. Penduduk setempat yang tidak menyukai pendatang seperti Suzanne mulai bertindak keras.

Kinerja sutradara Lacombe dan Sid tidak menawarkan hal baru. Setting lawas tahun 20an di desa pinggiran memang tercipta dengan baik untuk menampilkan suasana kuno misterius yang menyeramkan di segala sudut rumah tua tersebut. Sayangnya elemen horor yang dipilih mereka masih kurang inovatif, sebut saja kumpulan tikus yang bisa muncul tiba-tiba dan hilang begitu saja atau arwah gentayangan gadis cilik yang membayangi. Rasanya efek 3D yang segelintir itu juga tak akan berpengaruh besar terhadap visual yang ada.

Nilai plus yang dapat dilihat adalah penampilan Casta yang cukup gemilang. Tokoh Suzanne memang mendominasi keseluruhan durasi melalui multi karakter yang kompleks mulai dari ibu yang berduka, wanita yang kesepian, penulis yang imajinatif hingga korban yang innocent dari keadaan yang menghimpitnya. Pada satu titik mungkin anda bingung apakah harus ada di pihak Suzanne atau tidak mengingat begitu banyak turning point yang membuat karakterisasinya terlihat abu-abu.

Prolog film yang menjanjikan pada akhirnya sirna karena narasi non linier yang semakin mengaburkan batas antara halusinasi dan kenyataan. Penonton mulai bingung untuk berpijak dan memilih untuk mengerutkan kening sampai konklusi ending yang berjalan cepat tanpa kandungan emosi itu. Behind The Walls terbukti masih menawarkan unsur horor klise - efektif menggunakan lampu portable - yang akan mengejutkan anda di beberapa bagian. Namun selebihnya hanya kesia-siaan belaka yang menjadikan skenario potensial dan akting Casta mubazir. Yes, it's more like psychological drama rather than horror mystery itself!

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
  

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent